Dalam debat cawapres Minggu (29/6-2014), banyak diperbincangkan tentang peranan pendidikan dalam peningkatan kualitas SDM serta pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kedua Cawapres sependapat untuk memberikan sekolah gratis 12 tahun, meningkatkan kualitas guru, meningkatkan gaji guru.
Namun, bila menyimak arah perdebatan kedua Cawapres, konteks pembicaraan mereka adalah menyangkut pendidikan yang dikelola pemerintah (khususnya sekolah negeri). Dari kedua mulut Cawapres tidak sedikitpun muncul pikiran atau pendapat untuk membantu pengembangan pendidikan yang dikelola oleh swasta.
Peran Pendidikan Swasta
Peran pendidikan swasta di Indonesia jelas tidak diragukan. Hal ini antara lain ditunjukkan sejak Republik ini berdiri, pendidikan swasta sudah hadir dan berperan. Bahkan, ada yang sudah berkiprah di masyarakat sebelum republik ini berdiri. Sebut saja Tamansiswa, Muhammadiyah, Ma'arif NU, Katolik, dan Kristen.
Saat ini pun, peranan pendidikan swasta masih sangat besar. Sudah sangat jelas, tidak semua peserta didik dapat ditampung di sekolah negeri (SD, SMP, SMA, dan SMK). Lihat saja misalnya di kota-kota provinsi dan kabupaten, seperti SMP, SMA, dan SMK, untuk masuk sekolah negeri yang menggunakan nilai Ujian Nasional jelas akan banyak siswa yang terlempar atau tidak tertampung. Jadi, andaikan sekolah swasta tidak ada, maka bisa dibayangkan betapa banyaknya peserta didik yang putus sekolah.
Pembunuhan Sekolah Swasta
Kedua pasang Capres seperti berlomba untuk menawarkan sekolah gratis mulai SD sampai SLTA (12 tahun). Sebelumnya sudah ada pemerintah daerah yang menerapkan sekolah gratis 9 tahun dan 12 tahun. Di samping sekolah gratis. gagasan calon penguasa ini pun hendak meningkatkan anggaran pendikan untuk meningkatkan kualitas sekolah-sekolah. (Tapi lagi-lagi sekolah swasta tidak disebut).
Sepintas, ide sekolah gratis 12 tahun dan meningkatkan anggaran pendidikan untuk perbaikan kualitas sekolah-sekolah sangat baik untuk masyarakat Indonesia (menurut para politisi, termasuk kedua pasangan capres/cawapres, hal ini untuk menjamin supaya semua warga negara mendapapat pendidikan, dan mendapat pendidikan yang berkualitas).
Akan tetapi, jika pemerintah hanya memperhatikan pendidikan negeri, maka sebenarnya kebijakan pendidikan gratis ini akan sangat tidak adil bagi masyarakat yang menjalankan pendidikan swasta.
Karena masyarakat akan berlomba masuk sekolah negeri, sekolah swasta hanya akan jadi pilihan terakhir kalau terpaksa. Kecuali sekolah swasta yang mutunya sangat tinggi, sekolah swasta biasa semakin lama akan semakin terpuruk, bahkan terbubuh alias mati dan tak berdaya bertahan. Fakta yang terjadi sekarang, sudah banyak sekolah swasta yang tutup semenjak munculnya kebijakan sekolah gratis, dan itu luput dari perhatian pemerintah.
Tidak Adil Bagi Sebagian Masyarakat
Sudah jelas sekolah negeri tidak dapat menampung semua peserta didik (karena syarat masuk sekolah negeri, khususnya SMP, SMA, dan SMK adalah nilai Ujian Nasional). Saat ini, ada kecenderungan, kebanyakan anak yang nilai UN-nya tinggi adalah anak-anak yang belajar privat atau bimbingan belajar, dan mereka pasti bukan dari keluarga miskin.
Jadi, kebijakan sekolah gratis ini bisa jadi diskriminatif. Memang, ada jalur masuk sekolah negeri dari masyarakat miskin, tapi syaratnya tidak mudah. Lagi pula, semua rakyat miskin meminati jalur itu, karena malu atau karena sebenarnya tidak miskin sekali.
Di tengah-tengah masyarakat yang menyambut baik sekolah gratis, sebenarnya tidak sedikit masyarakat yang sedih, bahkan kecewa.
Dan hari ini, banyak yang kecewa karena kedua Cawapres sama sekali tidak menyinggung, apa yang akan dilakukan kedua pasangan untuk memajukan atau setidaknya membantu pendidikan swasta, khususnya sekolah swasta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H