Sebagai anak sekolahan, yang pernah bercita-cita untuk sukses, saya dari dulu tertarik membaca biografi orang-orang sukses dalam berbagai bidang, termasuk di bidang politik. Di bidang politik, orang-orang yang pernah memimpin partai, menjadi elit partai, anggota parlemen, dan menduduki jabatan di pemerintahan, bagi saya adalah orang-orang yang sukses. Sebab saya tahu, tidak mudah meraih posisi semacam itu.
Itu sebabnya saya pernah mengagumi Akbar Tanjung, Tantowi Yahya, Nurul Arifin, Fahri Hamzah, dan lain-lain. Prabowo pun pernah saya kagumi, karena berhasil menjadi menantu Presiden RI dan menjadi salah seorang yang hebat di negeri ini. Sangat tidak mudah, kan menjadi menantu Soeharto?
Belakangan, paradigma saya bergeser terhadap orang-orang yang pantas dikagumi. Ada nilai-nilai baru yang masuk ke pikiran saya tentang orang-orang yang pantas dikagumi, yakni kejujuran, konsistensi, dan kepedulian kepada kepentingan publik. Saya tetap menempatkan orang-orang seperti Akbar Tanjung, Prabowo, Muhfud MD, Aburizal Bakrie, dan Tantowi sebagai orang-orang sukses, tetapi bagi saya tidak pantas dikagumi karena pada mereka tidak terdapat nilai-nilai seperti yang saya sebut tadi.
Mengapa bisa terjadi orang yang sukses tidak pantas dikagumi, atau yang tadinya dikagumi menjadi tidak dikagumi bahkan dibenci? Tidak lain adalah karena tindakan daripada orang-orang yang bersangkutan. Sebutlah Prabowo, dia tadinya dikagumi banyak orang (bahkan pernah dijadikan sebagai ikon pemimpin ganteng). Tapi karena dia menolak menerima hasil pilpres 2014, dan melakukan manuver-manuver yang menurut banyak orang berlebihan (sementara banyak pihak menganggap pilpres 2014 sudah berlangsung cukup demokratis, sekalipun tidak terlepas dari kekurangan), maka Prabowo kehilangan aura untuk dikagumi, kehilangan kewibawaan, anehnya dia pun tidak lagi terlihat ganteng.
Akbar Tanjung, dulunya dikenal sebagai politisi cerdas, negosiator ulung, dan walaupun pernah jadi terdakwa korupsi, dia tetap dikagumi banyak orang. Tetapi belakangan, setelah keinginannya menjadi cawapres Jokowi tak digubris siapapun, lalu dia berpaling ke kubu Prabowo dan selanjutnya ikut bermanuver terkait karena kekalahan Prabowo-Hatta dalam pilpres, sungguh-sungguh membuat Akbar sebagai seorang pecundang dan tak pantas lagi dikagumi. Di televisi Akbar sering tampil seperti orang bodoh, yang menggambarkan adanya pertentangan dalam nuraninya.
Tantowi Yahya, sewaktu aktif sebagai pembawa acara di televisi, yang sering memandu acara-acara berkelas, membuatnya dikagumi banyak orang. Pantas, karena wajahnya keren, pintar dan menguasai banyak bahasa. Dia menjadi wakil rakyat pun meningkatkan kekaguman orang padanya. Tetapi belakangan, semenjak jadi juru bicara Prabowo-Hatta, dia mulai bicara sarat kepentingan pribadi dan kelompok, pendapat dan kritiknya tak lagi obyektif. Dia akhirnya tak lagi tampak cerdas dan simpatik, jadinya tidak pantas lagi dikagumi.
Saya pikir kurang lebih begitu hal yang terjadi pada diri Mahfud MD, Nurul Arifin, Aburizal Bakrie, Fahri Hamzah, dll. Semuanya kehilangan aura untuk dikagumi. Saya garis bawahi, bukan karena mereka berada di pihak Prabowo-Hatta dan karena kalah dalam pilpres, bukan, melainkan karena mereka sering tampil dan berbicara di televisi dan ucapannya tidak pas, menabrak logika, dan tidak sesuai dengan kehendak publik.
Dan yang sekarang lagi santer adalah kehendak koalisi Merah Putih untuk menghapus pilkada langsung, mau mengembalikan sistem pemilihan kepala daerah seperti zaman orde baru. Dulu, di bulan Mei 2014 sewaktu RUU Pilkada masuk ke DPR, kecuali fraksi Demokrat dan PKB, tidak ada fraksi yang menghendaki pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Eh sekarang, rame-rame fraksi dari koalisi Merah Putih ngotot supaya kepala daerah dipilih DPRD. Mereka berubah, mereka inkonsisten.
Mereka bilang, perjuangan mereka untuk kepentingan rakyat, cenderung tidak jujur itu. Karena hasil survey menunjukkan 81% responden menghendaki tetap pilkada langsung. Mereka bilang, UUD 1945, the founding fathers kita menghendaki sistem pemilihan tidak langsung, wah kacau sekali mereka jadi penafsir kehendak pendiri negara dan konstitusi.
Semenjak pilpres 2014, khususnya setelah KPU menetapkan hasil Pilpres, Probowo Cs secara berkesinambungan telah melakukan tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan kehendak orang banyak (umum), omongannya dimana-mana cenderung menyebar fitnah dan lalu mereka menuai kecaman. Ibarat kata pepatah, apa yang dilakukan Prabowo Cs pasca pengumuman pilpres 2014 tidak lain adalah tindakan mencoreng arang ke muka sendiri. Akhirnya muka yang ganteng, yang simpatik jadi jelek dan tidak simpatik.
Kini, dengan ngotot mendukung pilkada tidak langsung, sementara publik (mayoritas rakyat) berkehendak lain, Prabowo Cs semakin gencar mencoreng arang ke muka sendiri. Rekening bank emosi mereka terhadap publik semakin lama semakin minus. Kasihan, sangat disayangkan, kesuksesan-kesuksesan yang mereka raih sebelumnya menjadi kehilangan makna.