Urgensi pengetahuan akan pemaknaan kata-kata gharib atau asing pada Al-Qur’an sangat perlu diperhatikan, terutama dan terwajibkan bagi para mufassir. Pemaknaannya harus dilakukan secara cermat, teliti, dan tepat sebab berkaitan langsung dengan ketentuan dari maksud firman-firman Allah SWT. Jika sampai seorang mufassir kedapatan menafsirkan suatu makna Al-Qur’an dengan subjektifitas diri sendiri, maka sebenarnya ia telah berbual dan berbohong dengan menjual nama Allah SWT.[1]
Kata gharib yang berbahasa Arab menjadi tanggungan yang wajib dikuasai oleh mufassirin. Pernah suatu ketika, Yahya bin Nadlah Al-Madini bercerita :
“Aku mendengar Anas bin Malik mengatakan ‘Lelaki yang menjelaskan makna Al-Qur’an tanpa menguasai bahasa Arab jangan dipertemukan denganku, kecuali aku berikan siksaan untuknya”.
Pengetahuan yang mendalam mengenai bahasa Arab merupakan kunci dan syarat utama menafsirkan kalamullah dan memahami makna-makna dari setiap kosa kata di dalamnya. Raghib Al-Asfahani menambahkan bahwa bahasa Arab merupakan sebuah modal seseorang untuk memahami segala makna Al-Qur’an layaknya batu bata yang menjadi bahan baku pendiri bangunan.
Tidak hanya bagi mufassir, umat muslim akan mendapatkan pahala kebaikan membaca Al-Qur’an apabila semakin mantap terhadap kemukjizatannya karena mempelajari makna gharib yang terselubung di dalamnya. Rasulullah Saw bersabda :
“Barangsiapa membaca Al-Qur'an dan menguraikannya, maka setiap hurufnya terdapat sepuluh kebaikan, dan barang siapa yang membacanya dan melodi di dalamnya, baginya setiap huruf adalah kebaikan.”[2]
Para sahabat dahulu sangat berhati-hati dan teliti dalam menafsirkan. Sampai-sampai, ketika mereka menemukan lafad-lafad atau kalimat-kalimat yang gharib, aneh, atau yang belum bisa dimengerti, maka para sahabat akan diam. Atas dasar ini, An-Nawawi menyatakan dalam At-Tibyan fi Adabi Humalatil Qur’an bahwa menafsirkan dan menjelaskan Al-Qur’an akan menjadi haram bila tidak didasari ilmu, dan haram bagi seseorang yang bukan ahli dalam menjabarkan makna Al-Qur’an, kecuali mengutip pendapat para ahli.
Kendati demkian pentingnya, kita dapat menjumpai sekian ulama yang tidak menyetujui bahwa Al-Qur’an memiliki ke-gharib-an di dalamnya, karena meyakini bahwa bahasa Arab sudah jelas menjadi bahasanya Al-Qur’an sebagai miukjizat kerasulan. Jadi tidaklah mungkin dijumpai kata-kata gharib di dalamnya, maupun terindikasi ter-mix bersama bahasa yang lain. Alasan lainnya karena kefasihan bangsa Arab yang tidak perlu ditanyakan lagi.[3]
(1) MA. Zuhurul Fuqoha, S.Ud, M. S. I dan Dr. Abdul Karim, SS., MA, Tafsir Ghorib Al-Qur’an ( Sistematika Dan Metodologi), IAIN Kudus Press, 2021
(2) www.islamweb.net.
(3)Iffah H, Uin K, Maulana S, Banten H. “Makna Kosakata Gharīb Al-Qur’an Pespektif Makkī Al-Qaisī”. Jurnal al-Fath. 16(2):2022.