Mohon tunggu...
Sintia Ahla
Sintia Ahla Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa tugas belajar Politeknik Keuangan Negara STAN

Seorang istri dan mahasiswa jurusan Manajemen Aset Publik.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

PLTS Terapung Cirata: Harapan Baru Indonesia menuju Net Zero Emission (NZE) 2060

29 Juli 2024   16:00 Diperbarui: 29 Juli 2024   16:05 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keadaan yang lebih baik akan terjadi bukan karena kesempatan, melainkan karena perubahan. Sayangnya, perubahan itu harus dijemput, ia tidak bisa ditunggu. Selaras dengan itu, komitmen Indonesia untuk memitigasi perubahan iklim global dalam Paris Agreement guna mencapai Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060 merupakan langkah untuk menjemput perubahan. Langkah ini juga sejalan dengan upaya transisi energi dari bahan bakar fosil ke energi baru dan terbarukan (EBT) untuk memperkuat ketahanan energi nasional dan memajukan pembangunan yang berkelanjutan.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyampaikan peningkatan target pengurangan emisi dalam dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC) yang sebelumnya tertuang dalam Updated Nationally Determined Contribution (UNDC). Indonesia menargetkan pengurangan emisi gas rumah kaca menjadi sebesar 31,89 persen secara mandiri dan hingga 43,20 persen dengan bantuan internasional. Salah satu cara untuk mencapai target tersebut adalah melalui transisi energi dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang berbasis bahan bakar fosil ke Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang lebih ramah lingkungan. 

Selain mendukung penurunan emisi gas rumah kaca, dengan semakin terbatasnya sumber daya energi fosil, peran EBT menjadi penting. Namun, transisi energi menuju NZE membutuhkan infrastruktur energi, teknologi, dan pembiayaan. Pembangunan infrastruktur energi merupakan katalisator dalam pengoptimalisasian EBT di Indonesia. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif, mengungkapkan bahwa berdasarkan Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) 2021-2030, porsi sumber energi berbasis EBT melebihi porsi energi fosil, yaitu sebesar 51,6 persen atau setara dengan 20,9 Giga Watt (GW). Harapannya, pada tahun 2051-2060, nantinya akan menjadi periode terakhir untuk penghentian PLTU dan hidrogen untuk listrik akan dikembangkan secara masif. EBT yang dikembangkan didominasi oleh pembangkit surya, hidro, dan angin.

Alan Wilson pernah berkata, “Satu-satunya cara untuk memahami perubahan adalah dengan terjun ke dalamnya, bergerak dengannya, dan bergabung dengan tariannya”. Wujud nyata pemerintah dalam mencapai perubahan transisi energi adalah dengan membangun PLTS Terapung Cirata yang terletak di Waduk Cirata, Purwakarta, Jawa Barat. Menariknya, PLTS ini merupakan PLTS terapung terbesar di Indonesia dan se-Asia Tenggara dengan total kapasitas terpasang 192 MWp dan masih bisa dioptimalkan hingga 1,2 GWp. Berdasarkan Portal Informasi Indonesia (2023), biaya investasi dari proyek ini mencapai Rp1,7 triliun.

PLTS Terapung Cirata menggunakan teknologi Smart Grid sehingga dapat menghasilkan, mendistribusikan, dan mengelola energi matahari dengan lebih efisien. Proyek ini merupakan salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) hasil kerja sama antara PT PLN (Persero) melalui subholding PLN Nusantara Power dan perusahaan energi asal Uni Emirat Arab (UEA), MASDAR. Tentunya, pembangunan PLTS Terapung Cirata, diharapkan menjadi harapan dan solusi bagi energi berkelanjutan. Perlu kita ingat bersama, setiap rupiah yang dikeluarkan negara untuk pembangunan infrastruktur diharapkan mampu memberikan berbagai manfaat dan dampak ekonomi-sosial yang signifikan bagi masyarakat. Begitupun dengan pembangunan PLTS Terapung Cirata ini, diharapkan mampu membawa dampak positif bagi Indonesia.

Dampak Positif Potensial

Darmawan Prasodjo, Direktur PT PLN (Persero), menyatakan bahwa PLTS Terapung Cirata akan memberikan kontribusi melalui energi hijau sebesar 245 GWh/tahun dan reduksi gas CO2 sebesar 214 ribu/tahun. Proyek pembangunan PLTS ini juga ditransmisikan ke Gardu Induk PLN 150 ribu volt yang mengalir ke transmisi Jawa, Madura, hingga Bali sehingga mampu melistriki hinga 50 juta rumah tangga. Penelitian Asirin et. al (2023) menyatakan bahwa, dampak positif potensial dari PLTS Terapung Cirata, yaitu menciptakan lapangan kerja sebanyak 800 orang, mengangkat perekonomian lokal dan regional, serta membantu mengurangi penguapan air. Manfaat lain dari PLTS ini adalah menjadi percontohan dan transfer teknologi dalam pengembangan pembangkit EBT di daerah lain.

Dampak Negatif Potensial

Selain mampu membawa dampak positif bagi masyarakat, hasil dari penelitian Asirin et. al (2023) menyebutkan bahwa, PLTS Terapung Cirata juga bisa menimbulkan masalah, seperti kerusakan lingkungan perairan waduk akibat modul PV, invertet, dan sistem lainnya yang digunakan pada pembangkit. PLTS terapung di Waduk Cirata juga dapat menimbulkan kebisingan dan polusi udara selama konstruksi. Selain itu, pembangunan ini dianggap dapat menyebabkan kerusakan lanskap kawasan, membahayakan fauna di lingkungan sekitar, serta menimbulkan limbah padat yang berbahaya. Lebih lanjut, Asirin et. al (2023) menjelaskan pembangunan PLTS Terapung Cirata dikhawatirkan akan menimbulkan konflik sosial akibat kurangnya sosialisasi karena lokasi pembangunannya adalah tempat yang dijadikan mata pencaharian masyarakat dengan adanya 93.000 petak keramba jaring apung di Waduk Cirata serta munculnya persoalan ketidakadilan distribusional dan prosedural.

Lantas, Apa yang Sebaiknya Dilakukan?

Keberadaan PLTS Terapung Cirata merupakan wujud nyata komitmen pemerintah dalam mengembangkan EBT dan mewujudkan target NZE pada tahun 2060. Proyek ini juga menjadi contoh baik dari kolaborasi internasional dan transfer teknologi yang dapat memberikan dampak positif secara ekonomi maupun sosial, meskipun mempunyai potensi menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan dan masyarakat. Untuk itu perlunya peran pemerintah dalam mengambil langkah guna memitigasi eksternalitas negatif terhadap lingkungan dan kemungkinan terjadinya konflik sosial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun