Korupsi di kalangan aparat pemerintahan tingkat tinggi terus menjadi permasalahan yang mencoreng wajah pemerintahan Indonesia. Dari pejabat eksekutif, legislatif, hingga yudikatif, korupsi merambah berbagai sektor. Di sisi lain, media massa, baik cetak maupun televisi, seringkali mengungkapkan berbagai kasus korupsi yang seolah-olah menghilang begitu saja, tanpa ada tindak lanjut yang jelas. Hal ini menambah keprihatinan publik terhadap transparansi dan akuntabilitas lembaga pemerintahan. Tak hanya itu, dalam setiap Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), calon kepala daerah (paslon) selalu menyampaikan janji-janji besar untuk memenangkan hati pemilih. Namun, apakah janji-janji tersebut benar-benar direalisasikan setelah mereka terpilih? Atau justru janji-janji tersebut terlupakan begitu saja?
Dalam beberapa tahun terakhir, aparat pemerintahan tingkat tinggi yang tertangkap melakukan korupsi menunjukkan betapa besar dampak negatif yang ditimbulkan oleh praktek korupsi. Kasus-kasus korupsi ini mencakup berbagai sektor, mulai dari pejabat pemerintah daerah hingga anggota legislatif dan eksekutif nasional.Â
Contoh kasus yang menonjol adalah penangkapan Menteri Sosial Juliari Batubara pada akhir tahun 2020 terkait dengan kasus korupsi bantuan sosial (bansos) COVID-19 yang merugikan negara ratusan milyar rupiah. Selain itu, sejumlah kepala daerah, seperti Gubernur Jambi Zumi Zola, juga terjerat kasus korupsi terkait dengan suap proyek-proyek pembangunan.
Menurut data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sejak 2014 hingga 2024, lebih dari 100 kepala daerah di Indonesia, baik Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, telah dijerat kasus korupsi. Ini menunjukkan bahwa meskipun ada upaya untuk memberantas korupsi, masalah tersebut masih merajalela di tingkat pemerintahan.
Salah satu fenomena yang sering terjadi dalam pemberitaan korupsi adalah hilangnya isu-isu tersebut begitu saja setelah menjadi sorotan media massa. Sebagai contoh, beberapa kasus besar yang dulu menghebohkan publik tiba-tiba menghilang tanpa ada kelanjutan pemberitaan yang berarti. Hal ini bisa disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain:
- Intervensi Politik Dan Kekuasaan
- Keberpihakan Media
- Lambatnya Proses Hukum
Sebagai contoh, kasus suap E-KTP yang melibatkan sejumlah anggota DPR sempat menjadi sorotan besar pada tahun 2017. Namun, setelah beberapa waktu, pemberitaan tentang kasus ini berkurang drastis, meskipun proses hukum masih berlangsung hingga kini.
Setiap Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) selalu diwarnai dengan janji-janji besar dari calon kepala daerah (paslon) untuk memenangkan hati pemilih. Janji-janji ini sering kali berkisar pada peningkatan kesejahteraan, pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Namun, setelah paslon terpilih, apakah janji-janji tersebut terealisasi?
Berdasarkan survei dan analisis beberapa lembaga pengawas, sering kali kita melihat adanya ketidakcocokan antara janji-janji yang disampaikan selama kampanye dan hasil yang dicapai setelah paslon terpilih. Dalam beberapa kasus, kepala daerah melupakan atau bahkan tidak mampu merealisasikan janji-janji mereka karena berbagai alasan, seperti keterbatasan anggaran, kekurangan sumber daya, atau bahkan kendala politik.
Contoh yang sering dikemukakan adalah janji tentang pengentasan kemiskinan dan perbaikan infrastruktur yang tidak terlaksana sesuai harapan. Sebagian besar kepala daerah cenderung terfokus pada pencapaian jangka pendek atau kepentingan politik mereka setelah terpilih, mengabaikan janji yang disampaikan selama kampanye.
Namun, ada juga beberapa kepala daerah yang berhasil merealisasikan sebagian besar janji mereka, dengan fokus pada program-program pro-rakyat yang langsung berdampak pada kehidupan masyarakat. Misalnya, di beberapa daerah, program bantuan sosial dan pemberdayaan ekonomi lokal telah berhasil meningkatkan kesejahteraan warganya.