Mohon tunggu...
sinta mustikawati
sinta mustikawati Mohon Tunggu... -

Kuliah di Universitas Atma Jaya Yogyakarta, jurusan kajian media

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Pandangan Distopia atas Online Journalism

20 April 2012   01:08 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:24 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Online papers pretend to be seeking and absorbing feedback, but actually offer the illusion of interactivity without the reality – Jon Katz, 2002

Beberapa tahun belakangan ini, online journalism seakan membawa angin segar bagi dunia jurnalisme.Berita yang selalu baru tiap detiknya, interaktivitas yang tinggi antar pembaca, serta kemudahan untuk mengakses berita dinilai sebagai nilai plus yang tidak dapat ditandingi oleh jurnalisme konvensional (cetak).

Berita dalam bentuk elektronik sendiri pertama kali hadir di tahun 1983 dengan adanya layanan videoteks bernama Viewtron.Viewtron ini lalu berkembang sebelum web diperkenalkan dalam teknologi internet.Seiring ditemukannya berbagai program yang menunjang jaringan komputer, jurnalisme dalam bentuk online pun juga dikembangkan.Surat kabar yang terbit secara online pertama kali adalah Chicago Tribune di tahun 1992 dan diikuti oleh San Jose Mercury News di tahun 1993.Sama dengan eforia internet yang terjadi di dekade 1990an, berita online juga menjaring banyak pembaca dan konsep ‘berita’ dan informasi bukan hanya terbatas di surat kabar online, namun juga muncul di dalam situs-situs pencari seperti msn.com danyahoo.com.

Di Indonesia, suratkabar online atau situs-situs yang menyediakan berita/informasi secara elektronik berkembang pasca kerusuhan mei 1998.Detik.com sebagai situs informasi pertama gencar untuk menginformasikan perkembangan politik yang terjadi setelah reformasi 1998 tersebut.Sejak waktu itulah, online journalism dan secara sosial menunjukkan kekuatan masyarakat dalam tirani pemerintahan Indonesia.Demokrasi virtual, begitu para peneliti menyebut kondisi ini.

Demokrasi virtual bukan hanya memungkinkan kebebasan masyarakat untuk beropini atau berpolitik secara anonim, namun juga membebaskan mereka dari “saringan redaksional” yang biasa terjadi di media cetak/televisi.Kolom opini atau pendapat yang tertera di media cetak dan televisi cenderung terbatas pada beberapa pembaca/audience.Sedangkan pada portal berita di internet, siapa saja bebas untuk mengungkapkan tanggapan mereka.

Banjir Berita

Kecepatan menjadi faktor penting yang membedakan online journalism dan jurnalisme konvensional.Tiap detiknya, berbagai portal berita dapat menyajikan berbagai berita sekaligus.Berita terkait gempa yang terjadi di Aceh pada 15 April 2012 lalu, sebagai contoh, dapat diakses oleh masyarakat sepuluh menit setelah kejadian tersebut terjadi.Di situs facebook, banyak pengguna yang memperbaharui statusnya untuk “memantau” perkembangan gempa ini.Di twitter, ucapan keprihatinan membanjir secara konstan bagi para korban gempa.

Dalam nuansa tertentu, tiap orang berlomba untuk menjadi yang tercepat menyajikan berita.Karena batas antara publisher dan pembaca hampir tidak ada, maka siapa saja yang memiliki informasi berhak untuk menyebarkannya di internet.Abundance, begitu Erik Bucy (2002) menyebut fenomena ini.Keadaan di mana informasi berlimpah ruah di internet, dari segala penjuru tempat dan menyebabkan keterlimpahan informasi tanpa adanya penyaring atau filter yang membedakan antara informasi yang benar-benar berguna, atau sekedar sampah.

Situs Yahoo Indonesia baru-baru ini akhirnya tidak luput dari konsekuensi keterlimpahan berita ini.Tanggal 29 Maret 2012 lalu situs ini mengutip berita dari situs republica.co.id yang memberitakan badai salju yang menghantam Sumatera Barat.Berita ini terbukti hanya sekedar hoax dan setelah diverifikasi ternyata sama sekali bohong.Pun, meski banyak protes mengalir dari para pembacanya tidak terdapat tindakan koreksi ataupun permintaan maaf baik dari yahoo maupun Republika.Ralat, yang biasa digunakan oleh media cetak untuk memberikan klarifikasi bagi para pembacanya merupakan bukti tanggung jawab yang dimiliki oleh institusi media massa terhadap masyarakat.Setidaknya hingga saat ini.Online journalism, tentu memiliki pendekatan berbeda terhadap perspektif ini. Pendekatan jurnalisme warga yang kental tidak mewajibkan para kontributornya untuk memiliki tanggung jawab khusus untuk selalu memverifikasi berita yang mereka tulis.

News Gathering: Sisi lemah online journalism

Kutipan yang disematkan dalam awal tulisan ini memberikan pandangan skeptis terhadap online journalism.Karena bagaimanapun, kata jurnalisme yang selalu ditempelkan setelah kata online “mewajibkan” siapa saja yang berkecimpung di dunia ini untuk setidaknya memiliki kisi-kisi jurnalisme.

Dalam dunia jurnalistik, sebuah berita baru akan disebut berita jika ditempuh melalui beberapa tahap.Salah satu tahap penting tersebut adalah pengumpulan berita (news gathering).Dalam proses ini para jurnalis dituntut untuk mengumpulkan fakta dan informasi-informasi penting terkait dengan berita yang hendak mereka tulis.Apabila ingin melihat bagaimana tugas jurnalis dalam mengumpulkan berita, maka film All the President Men adalah contoh yang bagi penulis dapat membedakan antara online journalism dan jurnalisme konvensional secara signifikan.

Kasus skandal Watergate oleh Presiden Ronald Reagan pada tahun 1970an tidak mungkin dapat terkuak tanpa andil dua wartawan Carl Bernstein dan Bob Woodward dari The Washington Post.Kiprah mereka difilmkan lewat All the President Men.Dalam film ini, proses pengumpulan informasi untuk berita yang mereka tulis ditampilkan dengan apik.Pada awal film, mereka pergi ke narasumber bernama Deep Throat untuk melakukan wawancara.Untuk mencari sumber dana, maka mereka pergi ke berbagai tempat untuk memverifikasi data yang mereka miliki.Tidak lupa mereka juga pergi ke tempat kejadian untuk mencatat detail-detail yang sekiranya penting bagi berita mereka.Berita yang mereka tulis akhirnya mereka publikasikan secara berseri dan dalam kurun waktu yang cukup panjang.

Pengumpulan informasi seperti ini juga dialami oleh para jurnalis sebelum era internet populer seperti sekarang.Melalui gaya bahasa serta kedalaman analisis akan menunjukkan bahwa berita yang dibuat dengan proses yang banyak melibatkan manusia akan bersifat lebih alami dan manusiawi, memiliki perspektif yang unik serta mampu memberi efek reflektif bagi para pembacanya.

Proses pengumpulan informasi yang ditampilkan di film ini merupakan proses yang tidak, atau setidaknya sulit untuk dilakukan dalam online journalism.Dalam kebanyakan portal berita Indonesia, narasumber langsung hanya digunakan di situs resmi berita yang besar (Metro TV, Tempo, Kompas).Sedangkan bagi portal berita tanpa nama media yang besar, praktek churnalism atau mengutip satu berita ke situs berita lain lebih banyak digunakan.Lagi, hal ini dilakukan demi mengejar waktu.Kelembaman ini kemudian yang perlu diperhatikan baik oleh kontributor maupun pembaca.

Para pembaca harus memiliki tingkat literasi, atau kemampuan untuk dapat membaca dan mencerna berita yang mereka konsumsi.Seringkali literasi ini luput dalam benak para pengguna internet.Apalagi, dengan keberadaan internet yang tergolong baru bagi budaya masyarakat Indonesia, kritik masih tergolong minim.Mengapa? Mungkin karena pada dasarnya kita adalah masyarakat penikmat dan bukan pengguna.Masyarakat penikmat cenderung menggunakan teknologi dan tidak memiliki ide-ide otentik untuk mengembangkan sebuah teknologi.Sebaliknya, masyarakat pengguna cenderung paham kelemahan dan kelebihan teknologi yang mereka gunakan.

Literatur:

Bucy, Erik P.2002.Living in the Information Age: A new Media Reader.Belmont: Wadsworth

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun