Mohon tunggu...
sintamilia rachmawati
sintamilia rachmawati Mohon Tunggu... -

Books Lover. Social-Media Addict. Writer. Person Behind The Scene. Self-Development Enthusiast. Businesswoman Wanna-Be. http://duniasinta.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kerlip Cahaya (Bagian 1)

20 Juli 2011   06:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:32 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13111536891232251012

PROLOG Di atap rumah Adhel, Adhel dan Tama berbaring beralaskan tikar. Langit malam begitu cerah. Sama sekali tak tampak awan. Sepasang kekasih itu mengobrol sambil memandang bulan purnama yang benderang ditemani bintang-bintang. “Kamu suka bulan, Dhel?” “Suka. Apalagi bulan purnama,” “Kenapa?” “Karena bulan purnama bikin malam yang gelap jadi teraaaaaang banget!” “Hmm...” “Kalau kamu, Tama?” “Aku lebih suka kalau bulan gak ada,” “Loh? Kenapa?” “Karena ketika bulan ga ada, bintang-bintang akan bersinar lebih terang..” “....” “Ketika bulan ga ada, Dhel, langit memang gelap. Tapi ribuan bintang akan terlihat lebih berkerlap-kerlip. Itu adalah pemandangan terindah kedua yang pernah aku lihat.” “Hmm...? Biar aku tebak. Pemandangan terindah pertama pasti pantai.” “Salah. Pantai adalah pemandangan terindah ketiga. Pemandangan terindah pertama...” Tama sengaja menggantung kalimatnya. Adhel menoleh ke arah Tama, menunggu. Tama pun menoleh pada Adhel, menatap matanya dalam-dalam. “...adalah kamu,” Pipi Adhel merona. Bulan tersenyum melihat Adhel tersipu.

***

SEBUAH PENGAKUAN Dua minggu kemudian... Taman kota sore itu tidak terlalu ramai. Angin bertiup sepoi-sepoi. Sesekali daun-daun yang telah menguning berguguran. Matahari mengintip malu-malu dari balik awan. Cuaca yang sempurna untuk berjalan-jalan santai. Sepasang muda-mudi tampak jalan berdua, mesra. Sang pemuda yang berwajah tampan mengenakan kemeja lengan panjang favoritnya. Sementara sang gadis memakai blus berwarna krem dengan model ruffles di bagian lengan. Cantik sekali. Secantik wajahnya. Rambutnya panjang tergerai, dibelai oleh angin. Kedua tangan sang gadis memeluk salah satu lengan kekasihnya. Mereka tampak bahagia. “Kamu tahu nggak, tadi malam aku ngitung bintang. Ada dua bintang yang hilang,” sahut Tama dengan nada yang dibuat sedatar mungkin. Adhel nyengir. Ia tahu Tama sedang melancarkan rayuan. Tapi Adhel tetap menanggapi. “Oya? Kenapa?” tanya Adhel menahan tawa. “Ternyata dua bintang itu ada di mata kamu sekarang,” jawab Tama tersenyum. Adhel spontan memukul lengan Tama lalu berlari menjauh sambil tertawa lepas, berharap Tama akan mengejarnya dan menangkapnya dengan pelukan. Tapi Tama diam saja. Tama malah memandang lengannya yang dipukul Adhel, lalu menyentuhnya pelan-pelan. Wajahnya tampak serius. Menyadari Tama tidak mengejarnya, Adhel berbalik. Ia mendekati Tama. “Tangan kamu kenapa, Tama?” sahut Adhel menunduk, menyentuh lengan Tama yang tertutup. Adhel tampak khawatir. Tama tidak menjawab. Tiba-tiba ia mencium kening Adhel. Adhel mendongak. Ah, Tama suka sekali bercanda. Adhel memukulnya lagi lalu berlari pergi menuju bangku taman. Tama tetap tidak mengejarnya. Ia hanya memandang Adhel dengan tatapan yang sulit diartikan. Ceria sekali Adhel hari ini. Andai saja Adhel tahu apa akibatnya jika memukulku seperti ini. Tapi... ah sudahlah. Aku baik-baik saja. ...setidaknya aku harus terlihat baik-baik saja selama ada bersamanya... “Tama sini deh,” Tama berjalan mendekati Adhel, berdiri di samping Adhel yang duduk di bangku. “Aku punya sesuatu buat kamu,” ucap Adhel dengan wajah cerah. Ia membuka tasnya, mengambil dua buah cincin identik. Di bagian luar kedua cincin tampak ukiran nama. “Cincin yang tulisannya ‘Adhella’ buat kamu,” sahut Adhel sambil memasang cincin ‘Adhella’ di jari manis Tama. “Cincin yang tulisannya ‘Tama’ buat aku,” sahutnya lagi sambil memasang cincin itu di jari manisnya sendiri. Adhel tersenyum lebar. Sesaat Tama terhenyak tapi ia cepat menguasai diri. “Bagus...” komentar Tama sambil menampilkan senyum penghargaan. Adhel sangat senang. Adhel yakin, Tama adalah orang yang tepat yang selama ini ia cari. Tama adalah masa depannya. Mereka akan bertunangan, menikah, punya anak, hidup bahagia selama-lamanya. Adhel tidak berhenti tersenyum membayangkan semua itu. Sebaliknya, jantung Tama berdegup kencang. Cincin ini adalah pesan tersirat bahwa Adhel menginginkan peningkatan hubungan. Komitmen. Sejujurnya Tama belum siap. Ada sesuatu dari Tama yang masih ia rahasiakan pada Adhel selama ini. Sebuah rahasia yang sengaja ia tutupi, karena takut Adhel tidak mau bersamanya jika mengetahuinya. Tapi sampai kapan Tama akan diam? Suatu saat nanti Adhel pun akan tahu. Mungkinkah sekarang saat yang tepat untuk jujur? Tama memandang langit. Matahari tak tampak. Hanya sinarnya yang sedikit terlihat menembus celah-celah awan. Sore hari yang sejuk, rasanya begitu damai, seakan-akan masalah tidak akan menghampiri dalam 100 tahun ke depan... Tama menghirup napas panjang. Bahkan bernapas pun terasa begitu menyenangkan... Tama lalu memandang Adhel yang duduk di depannya. Tapi sepertinya, setelah ini, bernapas pun akan jadi menyesakkan. Bagiku, juga baginya... Tama mendesah. Inilah saatnya. Ia harus berani. Tama lalu duduk di sebelah Adhel yang masih tersenyum-senyum memandang cincin ‘Tama’ di jarinya. Tama menatap Adhel lekat-lekat, seolah-olah setelah pengakuan ini ia tidak akan melihat wajah Adhel lagi. “Apakah akan mengubah segalanya, jika ternyata aku merahasiakan sesuatu yang besar?” Senyum Adhel menghilang. Ia menoleh heran pada Tama. “Maksud kamu?” Tama menggulung salah satu lengan kemejanya perlahan hingga siku. Daerah tempat tadi dipukul Adhel tampak memar. “Aku hemofilia. Kalau pendarahan, darahku sulit berhenti. Benturan yang ringan sekalipun bisa membuatku memar seperti ini...” Adhel terkesiap. Hemofilia? Sepertinya ia pernah mendengar tapi... apa itu sebenarnya? Adhel bingung. Ia tidak tahu harus bagaimana. “Aku harus menjaga diri agar tidak terluka, tidak memar, tidak terkena benturan...” Adhel tiba-tiba merasa pusing. Kepalanya sakit. Ia tidak siap mendengar semua ini. “Aku juga tidak bisa terlalu lelah. Itu bisa menimbulkan pendarahan pada otot. Selamanya aku harus menghindari aktifitas fisik yang berlebihan. Aku...” “Sejak kapan kamu mengidap penyakit ini?” potong Adhel. Ia berusaha menahan gemuruh dadanya yang mulai bergejolak. Napasnya mulai sesak. “Hemofilia bukan penyakit, Dhel, gak bisa disembuhkan. Hemofilia ini kelainan darah genetik.. Sudah ada sejak aku lahir..” jawab Tama dengan suara tercekat. Ia berharap tak pernah bercerita tentang ini pada Adhel. “..dan kamu baru ngasih tahu aku sekarang?” intonasi Adhel mulai naik. “Kita pacaran udah lama, Tama! Kamu harusnya ngomong ini dari dulu!” sahut Adhel penuh emosi. “Maaf. Aku hanya takut kamu mundur kalau tahu tentang ini,” “Tapi itu artinya selama ini kamu udah bohongin aku!” teriak Adhel marah. Ia beranjak dari bangku. Tama ikut berdiri, tak ingin Adhel pergi. “Tiga tahun, Tama! TIGA TAHUN!” Adhel mulai menangis. Ia tidak percaya Tama tega melakukan ini padanya. “Karena aku sayang kamu, Dhel!” Tama membela diri dengan putus asa. Ia meraih tangan Adhel, Adhel menepisnya cepat. “CUKUP! Aku butuh waktu buat sendiri...” Adhel berbalik dan pergi meninggalkan Tama dengan air mata berderai. Ia lepaskan cincin bertuliskan “Tama” itu dari jarinya dan ia masukkan asal ke dalam tasnya. Adhel tidak menyadari, cincin itu jatuh ke tanah. Tama tidak mengejar Adhel. Tapi ia melihat cincin yang jatuh itu lalu memungutnya dengan perasaan hancur.

***

Bersambung...

(Catatan: Cerita ini diadaptasi dari skenario dan film Flickering Light oleh Bicky Perdana Putra. Flickering Light yang diproduksi oleh 89 Project dapat diunduh di: sini)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun