Kiranya begitu sulit untuk mempertahankan etika serta moralitas pada posisi idealnya. Terlebih lagi pada generasi muda dengan pergaulannya yang begitu luas serta adanya dukungan media sosial. Para pemuda yang digadang menjadi pondasi menuju pergerakan arah bangsa lebih baik, seharusnya tetap menjunjung tinggi etika dan moral dalam setiap tindakannya. Terlebih lagi dalam kultur timur yang tidak pernah meninggalkan sopan santun. Hal ini lah yang diupayakan oleh SMA Negeri 1 Pandaan sebagai salah satu satuan pendidikan formal. Akan tetapi latar belakang yang berbeda dari setiap siswa pada sekolah tersebut menjadikan tantangan tersendiri dalam terselenggaranya proses belajar mengajar. Tidak hanya pada tenaga pendidik yang telah terdaftar di SMA Negeri 1 Pandaan, mahasiswa Asistensi Mengajar dari Universitas Negeri Malang menghadapi tantangan yang sama.
Mahasiswa Asistensi Mengajar dicalonkan untuk menjadi seorang pendidik yang peka atas problematika dalam dunia pendidikan. Kegiatan Asistensi Mengajar merupakan kegiatan learning by doing di luar kampus yang dirancang dapat mendekatkan mahasiswa dengan realitas pendidikan di masyarakat, mengimplementasikan ilmu yang telah didapat serta berkontribusi dalam pengembangan pendidikan khususnya pengajaran secara langsung.  Melalui program Asistensi Mengajar ini mereka juga ditujukan untuk membantu meningkatkan kualitas pendidikan. Sebagian besar dari mereka, khususnya mahasiswa Asistensi Mengajar dari Departemen Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Malang merasakan atmosfer SMA Negeri 1 Pandaan yang menjadi ladang praktik pertamanya. Dunia lapangan dalam praktik kependidikan untuk pertama kalinya mereka rasakan di sekolah ini.
SMA Negeri 1 Pandaan merupakan SMA negeri favorit tertua yang ada di Kabupaten Pasuruan. Selain itu SMA dengan nama trivia SMANDA ini merupakan Sekolah Rujukan Nasional. Kian tahun nama SMANDA semakin meningkat, hal tersebut menuntut peserta didik maupun alumninya untuk mempertahankan nama baik ini. Adanya sistem penjaringan peserta didik yang cukup ketat juga menjaga kualitas para siswanya. Mengenai kedisiplinan, bapak ibu penanggung jawab tidak begitu pusing untuk memikirkan hal ini. Karena SMANDA yang notabene merupakan sekolah unggulan, maka peserta didiknya pun juga anak-anak yang berkualitas. Tidak diperlukan adanya aturan serta pengawasan yang ketat kepada peserta didik yang sudah memiliki kesadaran akan kedisiplinan. Namun, kebiasaan ini bertransformasi ke arah kiri dan degradasinya menunjukkan kurva yang cukup terlihat.
Semenjak masa zonasi, peserta didik yang masuk SMANDA tidak perlu belajar keras dan memiliki segudang prestasi. Kualifikasi domisili tempat tinggal dengan radius 2 km dari SMANDA menjadi yang utama. Ini lah yang menyebabkan latar belakang peserta didik dari segi afektif maupun kognitif begitu beragam. Dikutip dari jawaban wawancara dengan Bapak Imad, S.S. selaku Waka Kesiswaan, beliau menyampaikan "Sejak adanya penerapan sistem zonasi, diperlukan adanya perhatian lebih dari segi peningkatan kedisiplinan di lingkungan SMANDA". SMANDA menerapkan aturan yang ketat dalam lingkungan sekolah. Beberapa aturan yang pasti seperti waktu masuk yang dibatasi hingga pukul 06.40 WIB, jika siswa datang melebihi waktu yang ditentukan akan diberikan poin. Pukul 06.45 - 07.00 literasi kitab suci sesuai agama masing-masing. 11.40 WIB siswa laki-laki diwajibkan untuk sholat dzuhur berjamaah di masjid sekolah.
Dalam penegakan kedisiplinan, di SMA Negeri 1 Pandaan menerapkan sistem E-Tatib. Sistem ini memberikan fasilitas kepada setiap guru untuk melaporkan pelanggaran yang akan dikonversi menjadi poin pelanggaran. Guru dapat memotret dan menyertakan deskripsi pelanggaran yang dilakukan oleh siswa. Poin yang tercatat akan dihitung oleh tim Penegak Kedisiplinan SMANDA (tim PKS). Sebagai shock therapy, setiap tiga bulan sekali pada saat upacara tim kesiswaan mengumumkan kelas dengan perolehan poin pelanggaran tertinggi. Dengan rasa malu ini, anggota kelas diharapkan merasa jera dan lebih berhati-hati lagi dalam bertindak.
Tahun ini SMA Negeri 1 Pandaan mengimplementasikan dua kurikulum yakni K13 untuk jenjang kelas XI dan XII serta kurikulum merdeka untuk jenjang kelas X. Terdapat tiga penjurusan untuk kelas XI dan kelas XII meliputi program MIPA, IIS, dan IBB. Sekolah memberikan penjurusan kepada setiap siswa tidak berdasarkan kemampuan kognitif. Akan tetapi berdasarkan minat dari para siswa yang disesuaikan dengan hasil dari psikotes setelah pelaksanaan MPLS. Antara MIPA, IIS, dan IBB sejatinya tidak menunjukkan hierarkis kemampuan. Namun mirisnya, ada beberapa siswa dalam satu kelas yang sama yang semakin mempertegas gap antara MIA, IIS, dan IBB. Hal ini terjadi pada kelas XI peminatan IBB 2 di SMANDA. Telah menjadi keresahan dalam beberapa pekan pada benak bapak ibu pengajar di SMANDA. Beberapa siswa laki-laki di kelas XI IBB 2 menunjukkan ketidaktaatannya pada bapak ibu guru yang mengajar di kelas.
Suasana kelas yang seharusnya dapat berjalan kondusif dan penuh kompetisi akan keaktifan tidak terasa di kelas XI IBB 2. Terdapat 9 siswa laki-laki yang dianggap menjadi pemasalah utama dari ketidakefektivitasan proses belajar mengajar. Ke-9 siswa laki-laki ini kerap mengganggu temannya yang lain pada saat proses pembelajaran berlangsung. Mereka kerap memainkan HP meskipun sudah mendapatkan teguran bahkan masih diulangi meskipun sudah pernah disita. Komunikasi antara 9 siswa ini dengan bersahutan pada proses pembelajaran menambah rendahnya tingkat kondusifitas dalam kelas ini. Laporan-laporan ini diketahui dari bapak ibu pengajar di kelas XI IBB 2 melalui wali kelas. Hal ini sudah diferivikasi oleh tim PKS dan tim BK. Sebagai tindak lanjut, perlu diadakannya treatment atau perlakuan khusus untuk ke-9 siswa laki-laki ini yang kemudian disebut "Walisongo".