Seni tari pada anak usia dini mengacu pada kegiatan dan pengajaran seni tari yang ditujukan untuk anak-anak dalam rentang usia yang sangat muda, biasanya dari usia 3 hingga 6 tahun. Ini adalah periode penting dalam perkembangan anak, di mana mereka mulai mengembangkan keterampilan motorik, koordinasi tubuh, dan ekspresi kreatif.
Berikut ini adalah penjelasan yang cukup komprehensif tentang pandangan Imam al-Ghazali dan Islam terkait dengan pengajaran seni tari kepada anak-anak usia dini.
Imam Ghazali, atau Abu Hamid al-Ghazali, adalah seorang sarjana dan cendekiawan Muslim abad ke-12 yang terkenal karena karya-karyanya dalam filsafat, teologi, dan tasawuf. Imam Ghazali memberikan banyak pemikiran tentang pendidikan dan pembentukan karakter.
Imam Al Ghazali beranggapan bahwa mendengar nyanyian dan musik sambil menari hukumnya mubah. Sebab kata beliau : Para sahabat Rasulullah Saw. Pernah melakukan "hajal" (berjinjit) pada saat mereka merasa bahagia. Imam Al Ghazali kemudian menyebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib pernah berjinjit atau menari. Dalam kesempatan lain Aisyah diizinkan Rasulullah Saw. untuk menyaksikan penari-penari Habsyah. Kemudian Imam Al Ghazali menyimpulkan bahwa menari itu hukumnya boleh pada saat-saat bahagia, seperti pesta perkawinan, khitanan, aqiqah, lahirnya seorang bayi, setelah seseorang hafal Al-Qur'an dan ketika menyambut tamu yang baru datang atau memuji-muji orang yang mati syahid dalam peperangan atau pula menyambut kedatangan hari raya, dan yang sejenisnya. Semua ini hukumnya mubah dengan tujuan untuk menampakkan rasa gembira.
Menurut dia, pendidikan anak-anak harus mencakup aspek moral, akhlak, dan spiritual. Imam Ghazali menekankan pentingnya membangun landasan moral yang kuat pada anak-anak sejak dini. Dia menekankan bahwa orang tua dan pendidik harus bertanggung jawab untuk mengajarkan anak-anak tentang nilai-nilai etika, perilaku yang baik, dan ketaatan kepada Allah.
Dalam konteks seni, termasuk seni tari, Imam Ghazali menekankan pada penggunaan seni sebagai alat untuk mengajarkan nilai-nilai moral dan agama kepada anak-anak. Bagi Imam Ghazali, seni harus digunakan untuk menginspirasi jiwa dan memperkuat iman. Oleh karena itu, jika seni tari diintegrasikan dengan baik dalam pendidikan anak-anak, dengan memperhatikan konten dan nilai-nilai yang diajarkan melalui tarian tersebut, Imam Ghazali mungkin tidak melarang pengajaran seni tari pada anak-anak usia dini.
Namun, penting untuk dicatat bahwa ini adalah interpretasi umum berdasarkan pemikiran Imam Ghazali tentang pendidikan dan seni.
Sedangkan dalam pandangan islam ada sejumlah prinsip dan panduan yang perlu dipertimbangkan dalam pengajaran anak-anak, termasuk seni tari. Beberapa faktor yang perlu diperhatikan termasuk sifat tarian itu sendiri, konteks budaya, nilai-nilai agama, dan tujuan pendidikan dalam Islam.
1.Sifat Tarian: Dalam Islam, ada pemahaman umum bahwa tarian yang berhubungan dengan pergaulan bebas, kemaksiatan, atau menyimpang dari nilai-nilai moral dan agama tidak diperbolehkan. Oleh karena itu, dalam pengajaran seni tari pada anak-anak, penting untuk memastikan bahwa tarian yang diajarkan bersifat seni yang baik, menyampaikan pesan moral, dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam.
2.Konteks Budaya: Penting untuk memahami bahwa praktik seni tari dapat berbeda di setiap budaya. Sebagai contoh, di beberapa budaya Muslim, tarian tradisional yang dianggap sopan dan memiliki nilai-nilai Islami mungkin lebih diterima daripada jenis tarian modern yang lebih seksual atau menyimpang. Oleh karena itu, dalam mengajarkan seni tari pada anak-anak, memahami dan mempertimbangkan konteks budaya sangat penting.
3.Nilai-nilai Agama: Islam memiliki sejumlah nilai-nilai agama yang menjadi landasan untuk pendidikan anak-anak. Dalam pengajaran seni tari, nilai-nilai seperti kesederhanaan, kebersihan, rasa hormat, persaudaraan, dan menghormati batasan-batasan agama harus diperhatikan. Tarian yang diajarkan haruslah sesuai dengan nilai-nilai ini dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam.