Sungai merupakan salah satu bentuk ekosistem akuatik yang memiliki peran penting dalam proses daur hidrologi dan berfungsi sebgai daerah tangkapan air (catchment area) bagi daerah sekitarnya, sehingga kondisi suatu sungai sangat dipengaruhi oleh karakteristik lingkungan sekitarnya. Aliran air sungai banyak menampung berbagai macam materi dari berbagai kegiatan di sekitarnya (Mushthofa et al., 2014). Bertambahnya pemukiman penduduk, dan berbagai kegiatan di sepanjang aliran sungai menghasilkan bahan pencemar berupa limbah organik dan anorganik. Cemaran tersebut kemudian mengakibatkan gangguan serta perubahan fisik, kimia, dan biologi pada perairan sungai tersebut (Aryawati, 2021).
Sementara itu, air merupakan hal yang sangat utama dalam kehidupan semua mahluk hidup di muka bumi. Perubahan kualitas air sungai akan mempengaruhi kehidupan biota dan masyarakat sekitar yang memanfaatkan air sungai (Dwitawati et al., 2015). Banyak organisme akuatik yang akan terganggu kelangsungan hidupnya apabila kualitas air di habitatnya buruk. Begitupun dengan mahluk hidup lainnya, semuanya sangat bergantung pada air untuk bisa bertahan hidup. Maka, menjadi hal yang penting bagi kita untuk mengetahui seberapa baik kualitas air yang ada di lingkungan sekitar dalam hal ini yaitu sungai.
Sungai yang tercemar selain dilihat dari ciri fisiknya seperti keruh, berbau, dan terdapat banyak partikel melayang di dalam airnya, juga dapat dilihat dengan berbagai parameter seperti parameter kimia dan biologi. Namun, penentuan kualitas air sungai secara kimia memerlukan waktu yang lama dan biaya yang besar. Maka penggunaan parameter biologi dengan memanfaatkan bioindikator dapat menjadi alternatif yang bisa dilakukan (Dan Abdul Syukur, 2016).
Bioindikator adalah komponen-komponen hidup yang dapat dijadikan sebagai indikator atau variabel untuk mengukur perubahan yang terjadi dari waktu ke waktu (Crystallography, 2016). Bioindikator dibedakan menjadi dua, yaitu bioindikator pasif dan bioindikator aktif. Bioindikator pasif adalah suatu spesies organisme, penghuni asli dari suatu habitat, yang mampu menunjukkan adanya perubahan yang dapat diukur (perilaku, kematian, dan morfologi) pada lingkungan yang berubah di biotop (detektor). Bioindikator aktif adalah suatu spesies organisme dengan sensitivitas tinggi terhadap polutan.Â
Spesies organisme ini biasanya diintroduksikan ke suatu habitat untuk mengetahui dan memberi peringatan dini terjadinya polusi. Selain itu, suatu organisme dalam hal ini yaitu organisme akuatik, dapat dikatakan sebagai bioindikator jika di suatu badan air terjadi perubahan komposisi dari organisme akuatik tersebut (Hakiki, 2016). Organisme akuatik juga bisa memantau secara kontinyu terjadinya pencemaran di suatu perairan karena wilayah perairan tersebut merupakan tempat mereka melakukan mobilitas dan sebagai habitat yang relatif lama didiami (Mariani et al., 2021). Salah satu organisme akuatik yang dapat menjadi bioindikator pencemaran sungai adalah mikroalga.
Mikroalga merupakan keluarga tumbuhan kecil dengan diameter berkisar antara 3 sampai 30 mm dan dapat ditemukan di semua lingkungan air tawar dan air laut (Sari et al., 2021). Mikroalga memiliki batas toleransi tertentu terhadap faktor-faktor fisika kimia dalam suatu perairan yang mengakibatkan mikroalga sangat rentan terhadap perubahan kondisi perairan yang ditempatinya sehingga keberadaan mikroalga di suatu perairan dapat memberikan gambaran terhadap kualitas perairan tersebut. Untuk mengetahui tingkat pencemaran dalam suatu perairan melalui bioindikator berupa mikroalga dapat dilakukan dengan cara menganalisis keanekaragaman mikroalga yang ada pada perairan tersebut. Karena beberapa jenis alga dapat hidup dan mengalami kelimpahan atau blooming karena adanya zat tertentu (Awal et al., 2014).
Data yang diperoleh kemudian dianalisis komposisi komunitas mikroalganya yang meliputi kelimpahan, indeks keanekaragaman, dan indeks dominansinya. Ketiga hal tersebut menjadi penting untuk dianalisis karena populasi mikroalga yang melimpah disebabkan oleh banyaknya nutrien dari limbah-limbah domestik di sekitar sungai. Nutrien ini kemudian digunakan oleh mikroalga untuk pertumbuhannya (Dayana et al., 2022). Selain itu, peningkatan unsur hara berupa nitrat dan fosfat di perairan yang berasal dari kegiatan pertanian dan limbah juga bisa menjadi faktor pendorong pertumbuhan mikroalga. Oleh karena itu, tingkat keanekaragaman dan kelimpahan mikroalga dalam suatu perairan atau sungai dapat menentukan kualitas air dari sungai tersebut.
Â
REFERENSI
Aryawati, R. (2021). Fitoplankton Sebagai Bioindikator Pencemaran Organik Di Perairan Sungai Musi Bagian Hilir Sumatera Selatan. Jurnal Ilmu Dan Teknologi Kelautan Tropis, 13(1), 163--171. https://doi.org/10.29244/jitkt.v13i1.25498
Awal, J., Tantu, H., & Tenriawaru, E. P. (2014). Identifikasi Alga (Algae) Sebagai Bioindikator Tingkat Pencemaran Di Sungai Lamasi Kabupaten Luwu. Jurnal Dinamika, 05(2), 21--34.