Mohon tunggu...
Sinsi Karmilla br Sitepu
Sinsi Karmilla br Sitepu Mohon Tunggu... Seorang Mahasiswa Ekonomi dan Bisnis Universitas Katolik Santo Thomas Medan, Sumatera Utara

Menulis Opini dan Jurnal

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Etika yang Krisis : Ketika Kebaikan jadi Alat Kebaikan

18 Maret 2025   19:14 Diperbarui: 18 Maret 2025   19:14 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Di era digital ini, kebaikan bukan lagi sekedar tindakan moral yang dilakukan secara tulus, melainkan sering kali menjadi alat pencitraan. Media sosial dipenuhi dengan aksi sosial yang ditampilkan dalam bentuk konten, mengundang apresiasi, dan bahkan menjadi strategi personal branding. Namun, apakah kebaikan yang dipertontonkan masih bisa disebut sebagai kebaikan yang tulus?

Kebaikan yang tulus seharusnya berdiri di atas fondasi empati dan tanggung jawab moral, bukan kalkulasi untung atau rugi reputasi. Ketika seseorang atau organisasi melakukan tindakan baik semata-mata untuk meningkatkan citra, batas antara etika dan strategi pemasaran menjadi kabur. Kebaikan kemudian kehilangan esensinya dan berubah menjadi komoditas yang diperdagangkan untuk likes, followers, dan pengakuan publik.

Fenomena ini memunculkan dilema etika yang menarik. Di satu sisi, menyebarluaskan aksi kebaikan bisa menginspirasi orang lain untuk melakukan hal yang sama. Tetapi di sisi lain, ketika motivasi utama bukan lagi kemanusiaan, melainkan eksistensi diri, nilai moral dari tindakan tersebut menjadi kabur. Apakah berbagi itu dilakukan karena benar-benar ingin membantu, atau sekadar mencari validasi sosial?

Tak jarang, orang atau institusi menggunakan kebaikan sebagai alat untuk menutupi sisi buruk mereka. Korporasi besar yang terlibat dalam eksploitasi tenaga kerja, misalnya, sering kali menggembar-gemborkan aksi sukarela demi membangun citra positif. Individu dengan rekam jejak buruk di ruang publik pun kerap memanfaatkan momen amal untuk memperbaiki reputasi mereka. Praktik semacam ini dikenal sebagai virtue signaling, yaitu ketika seseorang menunjukkan kepedulian sosial hanya untuk keuntungan pribadi atau kelompoknya.

Persoalan lain muncul ketika kebaikan yang dipamerkan malah menghilangkan esensi dari empati itu sendiri. Dokumentasi bantuan kepada kaum marginal, misalnya, sering kali memperlihatkan wajah penerima manfaat secara eksplisit tanpa mempertimbangkan martabat mereka. Alih-alih membantu, tindakan semacam ini justru menempatkan mereka sebagai objek konten dan eksploitasi.

Lalu, bagaimana kita bisa membedakan antara kebaikan yang tulus dan kebaikan yang hanya untuk pencitraan? Salah satu indikatornya adalah apakah tindakan tersebut tetap dilakukan meski tanpa publikasi. Kebaikan yang sejati tak memerlukan tepuk tangan, karena tujuannya bukan untuk dilihat, melainkan untuk dirasakan dampaknya oleh mereka yang membutuhkan.

Pada akhirnya, etika dalam berbuat baik tidak hanya terletak pada tindakan itu sendiri, tetapi juga pada niat di baliknya. Jika kebaikan hanya menjadi strategi untuk membangun citra, maka esensi moralnya telah luntur. Kita harus kembali mempertanyakan makna sejati dari empati dan kepedulian, agar nilai-nilai kemanusiaan tidak sekadar menjadi komoditas dalam panggung sosial media.

Tantangan kita sebagai masyarakat adalah mengembangkan kepekaan terhadap batas tipis ini---kemampuan membedakan ketulusan dari strategi pencitraan. Kita perlu mengevaluasi tidak hanya apa yang dilakukan, tetapi juga bagaimana dan mengapa hal itu dilakukan. Dengan demikian, kita dapat menjaga etika tetap hidup bahkan dalam era di mana segala sesuatu berpotensi menjadi materi konten dan alat pembentuk citra.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun