Belajar bahasa sama artinya dengan belajar berkomunikasi. Ketika kita berbahasa dengan baik, maka akan membuat gagasan kita mudah diterima dan disenangi banyak orang. Sebagai makhluk sosial, sangat penting bagi manusia untuk menjalin komunikasi dan berinteraksi dengan sesama. Orang yang dalam hidupnya sering menyendiri tentu lebih banyak mengalami kesulitan daripada orang yang memiliki banyak relasi.
Kita orang Indonesia, setiap hari selalu berkomunikasi dengan bahasa Indonesia. Sayangnya, sering kali kita abai dan menggunakan bahasa Indonesia yang  tidak sesuai dengan kaidah. Pada ragam lisan misalnya; banyak yang mengucapkan "Para ibu-ibu", padahal 'para' dalam kamus KBBI sendiri sudah bermakna 'kelompok'. Sementara pada ragam tulis, kita sering melihat banyak orang saltik (salah tik) menulis 'terima kasih', 'kerja sama', dan tidak bisa membedakan mana 'di' yang dipisah dan 'di' yang dirangkai.
Saya sendiri sering merasa risi dan gemas jika mendapatkan ucapan 'terimakasih' dan 'kerjasama'. Belum lagi, ketika di jalan kita menemukan tulisan 'di' yang tidak sesuai. Banyak juga sepanduk dan baliho yang selain saltik , juga menggunakan bahasa asing yang sudah ada padanannya di dalam bahasa Indonesia. Rasanya hati ini miris merasakan semua itu. Alasanya sederhana, kita ini orang Indonesia, apa tidak malu jika berbahasa ibu saja kita kacau?Â
Di era globalisasi, tentu kita tidak bisa menutup mata dan fanatik terhadap satu bahasa saja, bahasa asing harus kita kuasai karena banyak rujukan pendidikan memakai bahasa asing. Selain itu, Indonesia merupakan negara besar yang memiliki ragam bahasa daerah. Kita tentu tidak boleh tuna terhadap tanah kelahiran sendiri. Maka dari itu, saya sangat mendukung slogan Badan Bahasa yang menyuarakan 'utamakan bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah, dan kuasai bahasa asing'.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H