Sinna Hermanto, No. 10
Ā
Zzzzpppp.
Aku seperti dihisap kumparan angin. Tulang-tulangku melunak. Tubuhku melayang. Di sini hangat. Aroma melati semerbak. Berganti bunga kantil. Samar-samar terdengar tawa tergelak. Itu tawa bapak.
Bola mataku mencari sumber suara itu. Tubuhku tak bisa kukendalikan, ia melayang sesukanya. Aku berteriak. Namun, aku tercekat. Mulutku ternganga tanpa suara. Terus kupanggil suara bapak. Hening terasa.
Kali ini kumparan waktu makin cepat. Aku tak mampu merasakan apa-apa hingga seberkas cahaya menyedotku semakin kuat. Aku terlempar di rerumputan, terjatuh di bawah gubug. Aku mengaduh.
"Sukma, kamu ndak apa-apa tho, Nduk?" tangan kekar itu memapah gadis kecil berkepang dua, bajunya merah muda meski agak pudar warnanya. Gadis itu bangun. Lelaki itu mengangkat dan mendudukkannya di bibir gubuk. "Sudah Bapak bilang, habis hujan begini jalanan licin. Mbokya hati-hati. Lihat, bajumu kena lumpur."
Mataku jelas-jelas melihat anak-bapak itu sama-sama terkena lumpur. Aku ingin mendekat ke arah mereka. Namun segera kuurungkan tatkala kakiku seperti terpatri di bumi. Aku seperti arca yang tiada bisa berpindah raga, mampuku hanya menghela udara.
"Bapak, lihat tangan Sukma," suaranya parau, hendak menangis. Wajah dan bibirnya pucat, sebagian rambutnya basah. Matanya meminta belas kasihan.
Kulihat seekor lintah menempel di jempol kiri gadis kecil itu. Bentuknya menggembung, gendut, kemerahan. Darah.
"Sukma jangan takut ya, Nduk. Sini Bapak obati."