Mohon tunggu...
Sinna HeĀ®manto
Sinna HeĀ®manto Mohon Tunggu... -

the challenge-Ā®

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Fiksi Kuliner] Dalam Secangkir Kopi

8 Juni 2016   08:14 Diperbarui: 8 Juni 2016   08:32 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Doc. FIKSIANA community

Sinna Hermanto (belum ada nomor).

.: Dalam Secangkir Kopi :.

Dee terhenyak tatkala seduhan kopi yang ia aduk terpercik di matanya.Ā 

"Auwww." Aku yakin, rasa kantuk segera lepas dari pelupuk. Muka bantal menguar. Dari kaca lemari buku, kulihat bayangan tangannya meraba-raba tisu. Dan lalu diambilnya selembar guna menyeka mata.

Aku mengerti. Dee selalu bosan pada saat-saat begini. Ia menggerutu, semacam kekasih yang diduakan. Ia pernah bilang, dalam secangkir kopi memang ada penawar. Tapi, kopi ini tak lagi penawar atas rasa yang sama seperti sebelumnya. Ia tak lagi mampu mengikat ion, apalagi menggerakkan neuron melaju secepat kilat. Teori tentang kopi hanyalah dongeng bagi orang-orang kasmaran. Ia tak lebih dari pelengkap kretek dalam kepulan asap-asap nikotin bersama suara tak tik tuk tak tik tuk mesin ketik usang yang urung diloakkan.

"Ini cangkir kedua sejak kamu mulai mengetik," aku melirik jam dinding. Dua jarum jam berhimpit tepat di angka 12. Itu artinya aku telah duduk di sana selama kurang lebih empat jam.

"Aku salut sama pecinta kopi. Lambung mereka kokoh sekali seperti tembok yang dicor semen murni." Untuk kalimatnya ini, aku terpaksa menoleh lalu terkekeh. Aku bangkit dan melangkah ke arahnya. Kini kami duduk berdampingan di sofa.

"Ini Sabtu malam. Berarti, cappucinta akan meng-espresso-kan segalanya. Lidahku sudah ter-latte menyecap setiap tetesnya."

"Gombal!" Nadanya naik satu oktaf. Tapi aku melihat senyum di sudut bibirnya. "Itu 'kan kopi sachetan. Kopi instan yang dicampur krimer dan gula. Cara seduhnya pun gampang. Tinggal sobek sachetnya, tuang dalam cangkir 70-an ml, tambahkan air mendidih 98Ā° Celcius. Jadi, deh."

Aku letakkan lagi cangkir kopi yang kupegang. Bibirku kudekatkan di kupingnya. "Tapi, kopi buatanmu selalu menghangatkan ā€¦."

"ā€¦ dan membosankan!" potongnya cepat. Kini wajah kami beradu. Aku menatap dalam-dalam manik matanya. Di sana, pupil tampak membesar. Aku meminta jawaban, apakah pupilku juga membesar seperti milikmu? Sepertinya ia tak tahu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun