Mohon tunggu...
Sinna HeĀ®manto
Sinna HeĀ®manto Mohon Tunggu... -

the challenge-Ā®

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Fiksi Fantasi] Bun Yan Bun Maow

18 September 2014   06:42 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:21 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bun Yan Bun Maow (1) [caption id="" align="alignnone" width="720" caption="Foto doc.pri"][/caption] Oleh: Sinna Hermanto (44) "Kamu ke sini sekarang, ya. Ada yang mau interview." "Sekarang? Boss yang kemarin kita obrolin itu ya, Bu?" "Bukan. Boss ini lain lagi. Anak-anak shelter lagi partime, cuma kamu tok yang available, buruan ke sini, Er." * Erlina bergegas ke kamar mandi, beberes diri. Ia memilih kostum dengan atasan warna kuning. Bagi orang Hongkong, kuning yang dalam bahasa Kantonis 'wong' memiliki pelafalan yang sama dengan membawa keberuntungan. Sebenarnya Erlina tak begitu percaya dengan klenik atau semacamnya. Tapi ia hanya bertukar peran seandainya ia berada pada posisi orang Hongkong memandang budayanya. Terlebih, Erlima telah berpesan kepada staf agen yang mencarikannya kerja, bahwa ia hanya bersedia interview kerja merawat lansia, bukan balita. Dan kebanyakan, lansia sangat teguh dengan karakteristik budayanya. Itulah mengapa ia memilih warna kuning. Erlina baru setahun di Hongkong. Ia kena PHK lantaran majikannya yang dulu pindah kewarganegaraan ke Kanada. Satu setengah dasawarsa kembalinya Hongkong ke China ternyata banyak membuat warga Hongkong kurang puas dengan kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah. Demo gelombang besar sering terjadi meski dalam aksi demo itu ada indikasi permainan uang. Yang paling utama adalah sistem pendidikan. Pada masa 'jajahan' Inggris dulu semua sekolah di Hongkong menjadikan bahasa Inggris aktiv-pasif sebagai bahasa utama dalam belajar mengajar, kini sekolah di Hongkong membaginya menjadi sekolah 'Inggris' dan sekolah 'Kantonis'. Hasilnya, sekolah 'Kantonis' memiliki penguasaan bahasa Inggris yang buruk ketimbang sekolah 'Inggris'. Hal ini sangat berpengaruh dalam persaingan pencari kerja. Itu pulalah salah satu penyebab majikan Erlina memecat dengan hormat pembantunya itu. * Shelter milik agen terletak di lantai 3 dan 5 bangunan lawas di seberang gedung kantor. Sebuah jalan raya memisahkannya. Meski begitu, Erlina harus memutar jalan di jembatan bundar khusus pejalan kaki lantaran tidak ada lampu lalu lintas di jalan utama. Begitu sampai di kantor agen, mata Erlina disuguhi senyum tipis oleh seorang perempuan paruh baya yang duduk di depan Vanessa, staf kantor yang menelefonnya tadi. Keduanya saling mengangguk hormat. Vanessa mengajak kedua perempuan itu duduk di sofa bludru warna biru tua di pojok kantor. "Nei sik em sik kong kwong dong wa? (2)" "Bisa, dikit-dikit," jawab Erlina ketika Vanessa meninggalkan keduanya karena telefon kantor berdering. Perempuan itu memperkenalkan dirinya bernama Sally. Ia menjelaskan bahwa ia membutuhkan pembantu hanya untuk bersih-bersih rumah dan ngurus kucing sebanyak 9 ekor. Iya, 9 ekor. "Kamu punya kamar sendiri, bukan tidur bersama kucing-kucing itu. Aku jarang pulang makan, mungkin agak repot saat anakku yang sekolah di USA pulang liburan ke Hongkong. Pokoknya jobmu urus kucing-kucing itu. Gimana?" "E ... e ... Lam ha sin aa, (3)" entah ini hanya taktik Erlina atau jual mahal saja. "Kenapa? Kamu takut kucing?" "Enggak." "Aku tau kamu bakal capek ngurus banyak kucing. Gimana kalo gajimu aku bulatkan jadi 5000?" Mata Erlina sedikit terbelalak, mulutnya sedikit menganga, jantungnya sedikit berdegup lebih kencang. "Tapi dalam kontrak kerja tetap tertulis seperti undang-undang. Ini hanya kamu, aku dan agen yang tau. OK?" * Memasuki apartemen Sally, Erlina langsung disambut meongan kucing. Apartemen ini terdiri dari 1 kamar utama, 2 kamar kecil, 1 kamar mandi serta dapur bersih yang menyatu dengan ruang makan dan ruang tamu. "Kucing-kucing ini tidur di ranjangnya masing-masing, ada di kamarku. Aku tak peduli gimana kamu rawat rumah ini. Anggap saja rumah sendiri. Yang penting, kalo ada apa-apa, kamu laporan atau tanya dulu ke aku. Oh ya, kamar kamar kecil yang berhadapan dengan kamarmu itu jangan kamu diutak-atik. Biar aku yang urus. Mengerti?" Erlina mengangguk. Sesekali matanya mencuri-curi pandang pada kucing-kucing yang menatapnya. Ketika kedua matanya bersirobok, ia seperti melihat kilatan cahaya di mata kucing-kucing itu. "Kenalin, ini Mo Mo, peranakan Turkis Anggora. Kedua matanya warnanya tidak sama, satunya kuning, satunya biru. Anak pertamanya 2, Suet Fa dan Siu Pak. Yang masih kecil ini Candy dan Ku Ku," dua nama terakhir yang disebut Sally nampak masih lucu. Mereka berebut puting Mo Mo untuk menyusu. "Yang ini triplet : Mori, Kara dan Nala. Nah, yang ini Tai Wong. Dia lagi sakit," Melihat Triplet, fikiran Erlina melayang pada kucing telon peliharaannya di kampung. Benar-benar mirip dengan totol-totol tiga warna, abu-abu-kuning dan putih. Sedangkan Tai Wong mirip Garfield. Kepala Tai Wong memakai corong besar dari plastik. Kaki kanan-belakangnya diperban, jalannya agak pincang. Lalu Sally menjelaskan bahwa kucing-kucing ini adalah binatang peliharaan suaminya. Ia dan suaminya sengaja mengadopsi kucing-kucing yang ditinggalkan atau dibuang pemiliknya dari SPCA (Society for Prefention of Cruelty to Animal). Tak jarang, binatang di SPCA banyak yang cacat karena mengalami penganiayaan. Tai Wong contohnya. Anehnya, Sally sama sekali tak mengenalkan suaminya. * Hari ini Erlina sedikit bermalas-malasan lantaran Sally tak hanya tidak pulang makan tetapi tidak pulang ke rumah. Sally ada urusan bisnis di Macau. Terlebih, info BMKG-nya Hongkong mengabarkan datangnya bak ho fung gao (4) bernama Khalmaeni. Tiap bulan September, Hongkong selalu mendapatkan kiriman badai dari Filipina selayaknya Jakarta yang menerima kiriman banjir bila musim penghujan tiba. Berita di TV juga menyatakan bahwa badai ini akan menyapu dataran Hongkong selepas jam 24 malam. Sebelum berangkat tadi, Sally berpesan agar menimbun stok logistik untuk dua hari. Kemudian memasukkan pot-pot bunga yang berada di balkon, mengikat kuat-kuat barang-barang di balkon dan melakban seluruh jendela kaca. Saat malam semakin pekat, mendung yang memayungi tanah Bauhinia ini Ā mulai terlihat pekat. Gulungannya makin tebal. Lajunya makin cepat bercampur dengan titik-titik air yang semakin lama semakin deras. Hujan datang. Gelombang laut berakhir di bibir dermaga dengan buih putih. Dermaga itu nampak dari jendela kaca kamar Erlina di lantai 28. Ia mematung di sana. Kemudian ia ingat bahwa jendela di kamar kecil yang berhadapan dengan kamarnya belum dilakban. Ia bergegas mengambil lakban dan gunting. Tai Wong dan triplet menunggu Ā di depan kamar kecil itu. Mo Mo, candy dan Ku Ku beriringan mengikuti langkah Erlina. Suet Fa dan Siu Pak berkelahi di bawah meja makan. Ketika hendak membuka kamar itu, meongan ke-7 kucing-kucing itu bersahutan tiada henti. Suet fa dan Siu Pak berlarian mengelilingi kaki Erlina. Klik ... Oi, kamar ini bisa dibuka? batin Erlina. Biasanya, Sally tak pernah sekalipun lupa mengunci pintu itu. Pelan, tangan Erlina mendorong pintu. Kucing-kucing itu berebut masuk, saling mendahului. Erlina tertarik sebuah hembusan angin. Pintu tertutup kembali dengan paksa. Brakkk. Meongan berhenti. Dalam gelap, sepasang mata nampak seperti bersinar, dua warna, toska dan emas. Mirip dengan mata Suet Fa. Hanya saja, mata ini berukuran lebih besar. "Suet Fa ... Suet Fa nurut ya. Ini aku, Erlina. Suet Fa ..." tutbuh Erlina gemetar. "Whuaaarrrr ... Wuarrr Wuarrr," ribut sekali suara kucing-kucing itu. Entah seperti kucing mau kawin atau berkelahi. Erlina mencoba meraba dinding. Tangannya menemukan saklar. Klik. Mata Erlina terbelalak manakala menemukan majikan perempuannya berada di kamar itu. Badannya berupa kucing dan kepalanya berupa manusia seukuran macan. Ia tak sendiri. Ia ditemani seekor kucing berkepala seorang lelaki dikelilingi 9 kucing-kucing kecil yang selama ini diurus Erlina. Sepasang bun yan bun maow itu menerkam Erlina. Whuaaarrr ... * Hari berganti, bulan berlalu, nampak seorang perempuan menikmati sarapan. Ia duduk di sofa sambil menikmati berita Selamat Pagi Hongkong. Ia begitu lahap menghabiskan makanannya itu. Sebungkus pelet kucing dan sekotak susu segar menjadi makanan favoritnya. "Hmmm, ibu hebat. Sarapannya dihabiskan. Habis itu dimakan obatnya ya, Bu," seorang berjubah putih mulai meracik butir wara warni. Di luar kamar itu, tepat menempel di tembok pagar, tertulis "San King Peng Yuen(5)". *** 1. Manusia setengah kucing 2. Kamu bisa bicara Kantonis? 3. Aku pikir dulu ya 4. Taifung nomor delapan (T8) 5. Rumah sakit jiwa Untuk melihat karya lainnya, klik di sini atau gabung ke grup Fiksiana Community.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun