Mohon tunggu...
Khoirun Nizam
Khoirun Nizam Mohon Tunggu... Jurnalis - Menulis untuk dikenang dan abadi

Writer

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menyemai Pendidikan Multikulturalisme

12 April 2017   08:42 Diperbarui: 26 September 2017   21:06 528
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Keberagaman di Indonesia (www.markijar.com)

Sungguh memprihatinkan mendengar ketidakharmonisan yang masih terjadi di negeri ini. Ada pihak yang dengan tega mengusik kehidupan harmonis yang sudah terjalin demi kepentingan kelompoknya. Apalagi menjelang Pilgub DKI putaran kedua (19/4) isu-isu seputar suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) santer diberitakan. Suhu politik yang semakin memanas sangat mungkin mengancam persatuan dan kesatuan. 

Di Indonesia kasus-kasus sosial antar masyarakat rentan terjadi. Data yang didapat dari kesbangpol.kemendagri.go.id, tahun 2013 total telah terjadi 93 peristiwa konflik, diantaranya bentrok antar warga berjumlah 37 kasus, isu keamanan 16 kasus,isu SARA 9 kasus, konflik kesenjangan sosial 2 kasus, konflik pada institusi pendidikan 2 kasus, konflik ORMAS 6 kasus, sengketa lahan 11 kasus, serta ekses politik 9 kasus.

Anehnya beberapa konflik yang terjadi justru mengkambinghitamkan perbedaan. Bukankah perbedaan merupakan suatu keniscayaan yang merupakan kehendak Tuhan? Pun tidak ada satu pun agama di Indonesia yang menghendaki pemeluknya melakukan intoleransi dan kekerasan. Sejatinya perbedaan itulah yang membuat dunia indah berwarna-warni. Apa jadinya jika hanya ada satu warna di dunia ini. Sudah pasti membosankan, bukan? Yang perlu disalahkan adalah rendahnya sikap menghargai perbedaan antar masyarakat di Indonesia. 

Dalam membangun kesadaran akan keberagaman tentu perlu proses yang panjang. Idealnya, sejak dini harus ditumbuhkan sikap hormat menghormati dan menghargai satu sama lain. Mental dan karakter kebhinnekaan akan terbentuk jika tidak hanya diajarkan secara teoritis namun harus diterapkan secara praktis.

Pendidikan Multikulturalisme

Selama ini yang lebih dikenal adalah pertukaran pelajar antar negara (international student exchange). Pengenalan akan keadaan dan budaya negara lain memang penting, namun lebih penting lagi untuk mengenal nilai-nilai dan budaya di dalam negeri. Hal tersebut menjadi penting karena menyangkut persatuan, kesatuan dan rasa saling memiliki Indonesia. Saat ini perlu untuk menggalakkan program pertukaran pelajar antar daerah.

Dalam lingkup universitas, sebenarnya sudah ada  program Pertukaran Tanah Air Nusantara (PERMATA) yang sudah ada sejak 2014. Sebagaimana dikutip disitus belmawa.kemristekdikti.go.id, program tersebut bertujuan membangun dan memperkuat nasionalisme mahasiswa, meningkatkan komunikasi mahasiswa lintas perguruan tinggi dan lintas budaya, serta memberi kesempatan mahasiswa mengambil perkuliahan di perguruan tinggi yang memiliki keunggulan dan kekhasan keilmuan tertentu dengan bidang ilmu yang dipelajari oleh mahasiswa yang bersangkutan.

Menurut hemat penulis, terlalu lambat untuk membangun pendidikan multikulturalisme pada tingkat mahasiswa. Tidak harus dimulai ditingkat universitas, bisa saja dimulai dari jenjang sekolah dasar hingga sekolah menengah pertama program pertukaran pelajar antar daerah dapat dijalankan. Dengan demikian, anak akan mengenal bagaimana kebhinnekaan Indonesia sejak dini. Pun dalam internalisasi nilai-nilai kebhinekaan akan lebih mudah dibentuk ketimbang sudah berstatus sebagai mahasiswa.

Usia yang dini bukan penghalang bagi mereka untuk hidup mandiri. Nantinya juga diperlukan adanya pendampingan dari pihak sekolah dan orang tua asuh. Pihak sekolah bertangungjawab bagaimana proses pembelajaran dapat berjalan dengan tertib, damai dan dapat dipahami muridnya yang berasal dari perbagai daerah. Orang tua asuh yang berasal dari budaya berbeda menggantikan peran orang tua kandung harus punya keteladanan dalam penerapan multikulturalisme praktis.

Proses penanaman pendidikan multikulturalisme akan lebih sempurna jika mereka berada dalam sebuah asrama berbasis kebhinnekaan. Betapa indahnya ketika ada teman nonmuslim yang membangun jam lima pagi untuk sholat subuh. Atau ketika mengantar teman sekamarnya pergi ke gereja. Berbagai suku bahu membahu gotong royong membersihkan asrama. Memang tidak ada satu pun agama di Indonesia yang menghendaki perpecahan dan kekerasan.

Ketika pertukaran pelajar antar daerah telah berhasil. Tentu beberapa tahun kedepan Indonesia akan dihuni orang-orang yang punya pikiran terbuka, punya jiwa sosial tinggi dan generasi toleran. Tidak hanya mementingkan dirinya atau kelompoknya, namun juga punya kesadaran bahwa Indonesia punya keberagaman yang menjadi kekuatan. Gus Dur mengatakan, ‘Tidak penting apa pun agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu'.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun