"Akankah Media Cetak Bertahan?" adalah sebuah tema kuliah tamu yang diadakan oleh Departemen Komunikasi, FISIP Unair (15/11). CEO Jawa Pos Group, Prof. Dr. Dahlan Iskan hadir sebagai narasumber dihadapan para mahasiswa dan dosen Ilmu Komunikasi di Aula Soetandyo. Tema ini memang menjadi bahasan 'renyah' para pengamat media dan komunikasi saat ini.
Gempuran media online memang tidak bisa dipungkiri berdampak pada eksistensi media cetak, terutama koran. Ratusan bahkan puluhan ribu media online hadir dengan segala kecepatannya membuat koran kian tersobek-sobek. Apalagi proses 'berdarah-darah' dalam membuat sebuah tulisan di koran tidak semudah berita online yang nyatanya kebanyakan hanya re-writing. Pun tidak mau ketinggalan saat ini konvergensi media dihadirkan. Menjadi tidak heran beberapa koran bertransformasi dalam bentuk media daring, sebut saja Kompas.com.Â
Lantas, akankah media cetak bertahan?
Tergantung dan bersyarat, begitulah jawaban dari Prof. Dr. Dahlan Iskan. Media cetak akan tetap bertahan selama memiliki manajerial yang baik, dipegang oleh orang yang punya background jurnalis serta meningkatkan kualitas dari sajian informasinya. Beliau juga mencontohkan Jawa Pos yang tidak mau menjadi perusahaan Go Publik. Tidak ingin sebuah media hanya sebagai kendaraan politik atau alat kampanye. Jawa Pos harus tetap independen. Akuisisi bukan solusi terbaik untuk meningkatkan nilai saham, justru yang dibutuhkan adalah bagaimana daya baca masyarakat terhadap media cetak semakin baik dengan informasi yang bermutu.
Sebaliknya, media cetak akan mati jika tidak dikelola dengan baik, dipegang oleh orang yang tidak punya ruh jurnalis dan tidak mau mengembangkan sajian konten. Ada contoh kasus di Amerika, sebuah media cetak terbesar disana Chicago Post dinyatakan bangkrut karena harga saham lebih rendah dari hutang yang diembannya. Menariknya, kata Prof. Dahlan, justru saat berkunjung ke Amerika ia tetap menemukan koran tersebut dengan konten jauh lebih baik dari sebelumnya. Meskipun demikian, ada banyak faktor lain kenapa media cetak tersebut terseok-seok.
Tentang Profesi
Dengan mantap Prof. Dahlan mengatakan bahwa jurnalis adalah sebuah profesi. Dikatakan profesi, menurutnya, jika memiliki ketiga syarat; (1) untuk kepentingan umum, (2) punya otoritas, dan (3) memiliki kode etik. Ciri terakhir itulah yang menjadi pagar agar otoritas dan kepentingan yang diberikan kepada jurnalis tidak digunakan secara sembarangan.
Diskusi menjadi unik ketika beliau memberikan statement bahwa, guru bukan termasuk profesi. "Mengapa tidak dikatakan profesi?," tanya penulis dalam hati. Menurutnya, sekalipun guru memiliki kode etik dan untuk kepentingan umum, namun guru tidak punya otoritas. Hal ini berkaitan dengan tuntutan mengajar yang harus sesuai dengan kurikulum. Perdebatan ini masih terus berlanjut, dan beliau tetap kokoh pada pendapatnya.
Kecanggihan Semakin Liar
Kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI)juga menjadi sajian menarik yang diberikan Prof. Dahlan. Ketika masyarakat kemiskinan dan kualitas pendidikan tak juga ada peningkatan menuju kesejahteraan, bukan tidak mungkin suatu saat akan ada dosen robot. Ini menjadi menarik ketika ditemui dibanyak kampus seorang dosen memberikan kuliah pada 50-100 orang dalam satu kelas. Tentunya kurang efektif mengingat tidak semua memiliki kemampuan memahami yang sama dan menyukai cara mengajarnya. Sehingga, ketika peran tersebut digantikan dosen robot maka semua akan lebih terfokus dan khusus.