Pada zaman dahulu hiduplah dua orang bersaudara kembar. Keduanya tumbuh sehat dan normal sebagaimana layaknya manusia pada umumnya. Sekalipun mereka kembar tapi memiliki sifat-sifat yang sangat kontras. Layaknya seperti siang dan malam. Kakak sejak kecil berkelakuan baik, patuh, disiplin, tahu diri, dan seorang anak yang amat rajin.
Selanjutnya perjalanan hidup mereka berdua setelah dewasa, si kakak mengemban tugas mulia (wakil Tuhan di bumi), yaitu seorang Hakim yang sangat berpengaruh karena putusan-putusan hukum yang dibuatnya memiliki gaung besar  (viral: istilah sekarang) karena kemampuannya begitu langsung menukit sasaran persoalan, sehingga rasa keadilan masyarakat selalu terpenuhi dengan sempurna.
Sedang si adik sendiri, kembaran Hakim itu malah memiliki sifat tidak terpuji, kasar, suku berbuat onar, sering meresahkan ketenteraman banyak orang. Merampok bahkan tega melakukan pembunuhan begitu sadis kepada siapa pun juga. Tanpa memandang laki-laki atau wanita.
Akibat perbuatannya yang selalu melanggar hukum, suka atau tidak suka harus diminta petanggungjawabannya secara hukum dihadapan sidang pengadilan yang dipimpin Ketua Majelis Hakim justru kakak kembarnya sendiri.
Apa yang terjadi kemudian dalam persidangan mengadili seorang penjahat besar. Hakim berdasarkan fakta hukum yang terungkap dalam persidangan dan bukti-buti yang lebih dari cukup menjatuhkan pidana mati kepada penjahat besar tersebut dan mengetuk palu, pertanda sidang sudah berakhir.
Detik-detik terakhir pelaksanaan eksekusi pidana mati di tiang gantung, sang Hakim berusaha menemui terlebih dahulu penjahat besar kelas kakap tersebut di penjara tempatnya ditahan, tiada lain adalah adik kembaran Hakim itu sendiri.
Dengan bergegas mereka  pun bertemu empat mata, sang kakak (Hakim) memerintahkan adiknya agar segera tukar pakaian yang mereka kenakan masing-masing. Sang adik sekarang mengenakan pakaian seorang Hakim yang gagah dan penuh wibawa seolah-olah tanpa sebuah noda. Sedang si kakak mengenakan pakaian sebagaimana layaknya seorang tahanan di penjara. Begitu selesai tukar pakaian, si kakak memerintahkan kepada si adiknya agar segera meninggalkan area (lokasi) penjara tempatnya ditahan.
Begitu besarnya kasih sang kakak (Hakim) kepada si adik (penjahat) rela menukar dirinya berada di tiang gantung siap menerima kematian atas putusan dan pertimbangan hukum yang dibuatnya sendiri.
Hal seperti inilah Tuhan berkarya atas diri semua manusia yang penuh dengan dosa-dosa. Hidup dengan bergelimang dosa wajar menerima ganjaran hukum seberat-beratnya. Â Akan tetapi, karena kasihNya begitu besar atas semua makhluk manusia di bumi ada suatu kerelaan yang sangat suci menggantikan diri kita manusia.
Penjelasan II Korint 5:21, menegaskan, "Dia yang tidak mengenal dosa telah dibuatNya menjadi dosa karena kita, supaya dalam Dia kita dibenarkan oleh Allah." (Sumber: Ishak Sugianto).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H