Mohon tunggu...
Humaniora Pilihan

Antara Klenik dan Indeks Pembangunan Manusia Indonesia

6 Oktober 2016   13:46 Diperbarui: 6 Oktober 2016   16:50 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sebagai masyarakat paling doyan nonton TV di Seluruh ASEAN (riset Nielsen 2015) dan penguna aktif Media Sosial kita pasti tahu kisah Kanjeng Dimas dari Probolinggo yang diyakini bisa menggandakan uang, pulsa hingga makanan; Ada juga kisah tentang Kasrin dari Rembang yang dipercaya telah berhaji ke Makkah secara misterius atau ghaib.

Kedua hal tersebut dapat menjadi barometer kualitas pendidikan di Indonesia, dimana pendidikan atau pengetahuan mrupakan salah satu dari tiga indikator utama selain Kelayakan Hidup dan Usia Harapan Hidup, yang menjadi penilaian Indeks Pembangunan Manusia.

Sepanjang riwayat hidup manusia Indonesia baik dari masa Orde Lama, Orde Baru hingga hampir dua dekade pasca Reformasi selalu diwarnai hal-hal takhayul yang booming di masyarakat. Hal tersebut mencerminkan bahwa Bangsa Indonesia adalah bangsa yang kurang terdidik, dan malas brpikir ilmiah.

Bangsa kita masih menggandrungi dan memilih suatu hal yang mistis, klenik dan supranatural dalam menyelesaikan masalah hidup yang mnyangkut kesejahteraan, daripada mencari solusi ilmiah yang dapat membangun negara ini secara perlahan, sustainable dan meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia indonesia lebih baik diantara bangsa-bangsa lain di dunia.

Seakan gayung bersambut, minimnya usaha penyadaran secara edukatif, media-media dan para punggawa negara justru menyuburkan fenomena ini dengan latah dan beramai-ramai mengekspos kedua kisah tersebut menjadi hidangan informasi hangat di pagi, siang dan malam hari. Dan, akhirnya kita menjadi bangsa yang semakin gandrung dan berdimensi klenis dari generasi ke generasi.

Dengan demikian, bukanlah konsekuensi klenis ataupun mistis yang kita terima, tetapi konsekuensi realistis dan berdimensi ilmiah, dengan menggunakan berbagai indikator diantaranya pendidikan dan dikomparasikan secara global. pada tahun 2015 Indonesia masih bangga dngn peringkat 110 sebagai Negara dengan peringkat terendah dalam hal Indeks Pembangunan Manusia, dan setelah beberapa dekade merdeka dari Belanda, bangsa Indonesia setia bertahan sebagai 100 besar peringkat Indeks Pembangunan Manusia secara global.

Kita tidak tersinggung ataupun iri dengan Bangsa Botswana di pedalaman Afrika atau Rep. Tongga di Ujung Pasifik yg baru saja menyinggung Indonesia di PBB terkait Papua, meski Bostwana dan Tongga secara peringkat jauh lebih baik dari kita, kita tdk perlu trsinggung, karena itu semua berdasarkan penilaian yang dihitung dangsn metode ilmiah yang rumit dan butuh pendidikan berkualitas, bukan dihitung dengan indikator klenik dan mistis yang dominan kalangan manusia Indonesia.

Meminjam ungkapan dari Sidney J. Harris (1917-1986) seorang wartawan Chicago Daily News “..seluruh tujuan pendidikan adalah untuk mengganti cermin menjadi jendela”, sudah saatnya bagi kita untuk bercermin dalam memandang dinamika sosial di Indonesia, maraknya perilaku klenis telah mengesampingkan upaya pemberdayaan secara edukatif.

Bagi media mistis dan klenis tidak lebih dari sebuah komoditas bisnis untuk keuntungan korporatif. Alih-alih menjadi fungsi edukatif bagi masyrakat yang perlu disadarkan, kepercayaan masyarakat yang tinggi terhadap mistis dank lenis justru dijadikan segmentasi pasar. Dan sudah sepatutnya bagi para punggawa negara, sebagai regulator harus tahu kapan waktunya meniup peluit untuk menghentikan perilaku yang berpotensi tidak mendidik, untuk menyelamatkan generasi mistis dank lenis menjadi generasi akademis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun