Dalam beberapa kesempatan, saya bertemu dengan pengusaha/pengurus Badan Usaha yang tidak mendaftarkan beberapa karyawannya sebagai peserta di BPJS Kesehatan karena karyawannya tersebut sudah didaftarkan pasangannya yang juga bekerja.
Sebagaimana telah kita ketahui, iuran yang dibayarkan Peserta Pekerja Penerima Upah (PPU) BPJS Kesehatan baik PNS/TNI/Polri dan karyawan swasta telah mencakup iuran untuk kepesertaan Suami-Istri dan anaknya hingga tiga orang (total 5 orang). Namun, Pasal 15 UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS (selanjutnya akan saya sebut “UU BPJS”) berbunyi : “Pemberi Kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan Pekerjanya sebagai Peserta kepada BPJS sesuai dengan Program Jaminan Sosial yang diikuti”.
Mari kita garis bawahi “mendaftarkan pekerjanya sebagai Peserta kepada BPJS”.
1. Siapakah pekerja yang dimaksud ?
Mengacu pada Pasal 1 angka 8 UU BPJS, yang dimaksud pekerja adalah “setiap orang yang bekerja dengan menerima gaji, upah, atau imbalan dalam bentuk lain”. Artinya, selama dapat dibuktikan bahwa seseorang menerima gaji/upah/imbalan atas pekerjaan yang dilakukan untuk kepentingan pihak lain (pengusaha), maka si pemberi kerja wajib mendaftarkan pekerja sebagai peserta kepada BPJS.
2. Siapakah Peserta yang dimaksud ?
Mengacu pada Pasal 1 angka 4 UU BPJS, yang dimaksud Peserta adalah “setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, yang telah membayar iuran”. Secara singkat, peserta adalah orang yang membayar iuran, dan dalam kepesertaan PPU, itu berarti si Pemberi Kerja dan si Pekerja.
Lantas bagaimana dengan pasangannya ? Apakah bisa disebut peserta ? Bukahkan harta suami adalah harta istri juga ? HAHA. iya sih bener juga, namun kita harus melihat kalimatnya secara penuh. Apabila digabungkan dengan terminologi diatas, maka orang yang wajib didafarkan sebagai peserta oleh pemberi kerjanya adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima gaji/upah/imbalan dalam bentuk lain.
Itulah mengapa pekerja yang telah terdaftar sebagai anggota keluarga pasangannya seharusnya tetap didaftarkan sebagai Peserta PPU dan membayar iuran ditempat kerjanya sendiri. Intinya, selama dapat dibuktikan bahwa pasangan suami-istri sama-sama menerima upah atas pekerjaan yang dilakukan, maka keduanya wajib terdaftar sebagai peserta PPU dan wajib membayar iurannya masing-masing, bahkan bila keduanya bekerja pada pemberi kerja yang sama.
Dasar hukum tersebut disusun dengan mempertimbangkan prinsip utama berjalannya Program Jaminan Kesehatan Nasional, yaitu GOTONG ROYONG. Pengusaha yang mempekerjakan seorang tenaga kerja dianggap mampu menjaminan kesehatan pekerjanya (beserta keluarganya) dengan menanggung iuran pekerjanya sebesar 4% dari upah perbulan. Begitu pula seorang yang bekerja dianggap memiliki kemampuan untuk membayar iuran, dan iuran tersebut dikelola untuk membiayai peserta yang sakit, jumlahnya hanya 1%. Sebagai ilustrasi, orang yang memiliki Upah Rp 8.000.000,- (delapan juta rupiah) pun cukup membayar Rp 80.000,- (delapan puluh ribu rupiah) per bulan. Berat atau tidak, tergantung pada pandangan masing-masing. FYI, dibutuhkan 5.882 orang peserta yang sehat (kelas 3 dengan iuran Rp 25.500,- per bulan) untuk membiayai 1 orang yang operasi jantung dengan biaya kurang lebih Rp 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah). Jadi gimana ? Bersedia lah ya, jadi satu diantara lima ribu sekian orang itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H