Pada tanggal 24 Februari 2022, Rusia melalui perintah Vladimir Putin, melakukan serangan sporadis ke Ukraina. Hal ini disebabkan adanya rencana Ukraina untuk ikut dalam organisasi NATO (The North Atlantic Treaty Organization), Â sebuah organisasi lintas negara yang berisikan Amerika Utara dan sebagian besar negara di Eropa.Â
Hal ini tentu menjadi ancaman serius bagi Rusia, sebagai negara Komunis yang selalu tampak anti dengan dominasi barat. Rusia, melalui Menteri Pertahanan Jenderal Sergey Kuzhugetovich Shoygu memulai apa yang disebut "Operasi Khusus".
Sebagai reaksi atas serangan tersebut, beberapa negara melakukan sanksi ekonomi berupa pembekuan aset, pencekalan para tokoh, hingga melakukan embargo atas penjualan yang selama ini berlangsung.Â
Amerika Serikat, Uni Eropa, Jepang, Taiwan, dan negara - negara yang merupakan anggota Inggris Raya, seperti Kanada, Australia, serta Inggris sendiri telah memutuskan untuk menghukum secara diplomatik terhadap Rusia.Â
Lalu di mana posisi Indonesia? Indonesia sebagai salah satu negara "non Blok" sejak awal sangat mencermati tragedi ini secara serius dan hati - hati.
PBB, selaku wadah terbesar dari seluruh organisasi multinasional nampaknya juga sangat pelan dan lembut. PBB melihat bahwa Rusia adalah negara superpower yang memiliki "Hak Veto", sebuah hak istimewa yang hanya dimiliki lima negara, yakni Rusia, China, Perancis, Inggris, dan Amerika Serikat.Â
Hak tersebut memberi semacam imunitas terhadap siapapun untuk mengurusi urusan rumah tangga dalam negaranya. Perang ini nampaknya juga menjadi momentum bagi Jerman yang sudah bermusuhan lama dengan Rusia, sejak 100 tahun lalu, di Perang Dunia 1.Â
Jerman dan Rusia seperti sedang mengulang pertempuran "Leningrad" yang mengerikan itu.
Ekskalasi semakin meningkat, kala negara - negara barat mulai berkumpul di Kiev, ibu kota Ukraina. Hal ini menambah ketegangan dan tentu saja ancaman bagi Rusia yang nampaknya mulai longgar dalam agresi hampir tiga bulan terakhir.Â
Terbaru, empat hari yang lalu, Menteri Pertahanan Rusia dan Menteri Pertahanan Amerika Serikat berkomunikasi untuk pertama kali sejak terjadinya kemelut di Ukraina. Hal ini melahirkan beberapa pakta atau kesepakatan baru yang bermuara pada komitmen untuk lebih menekankan jalur komunikasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H