Dalam dunia ekonomi, inflasi sering menjadi perhatian utama, tetapi deflasi, fenomena yang kebalikan dari inflasi, juga membawa risiko signifikan yang dapat mengganggu stabilitas ekonomi. Deflasi ditandai oleh penurunan harga barang dan jasa secara umum, yang sering kali dipicu oleh penurunan permintaan atau peningkatan penawaran. Meskipun tampaknya menguntungkan bagi konsumen dalam jangka pendek, deflasi dapat menciptakan spiral negatif yang berpotensi merugikan pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Dalam esai ini, kita akan menjelaskan berbagai risiko yang terkait dengan deflasi, serta konsekuensi yang mungkin terjadi terhadap perekonomian secara keseluruhan. Dengan memahami dinamika ini, kita dapat lebih baik mempersiapkan strategi untuk menjaga stabilitas ekonomi di tengah tantangan yang muncul.Â
Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan bahwa Indonesia Kembali mengalami deflasi pada bulan September 2024. Itu artinya, Indonesia mengalami deflasi secara lima bulan berturut-turut hingga September 2024. BPS mencatat, pada September 2024 terjadi deflasi sebesar 0,12% secara bulanan, atau terjadi penurunan Indeks Harga Konsumen (IHK) dari 106,06 pada Agustus 2024 menjadi 105,93 pada September 2024. deflasi Indonesia secara bulanan dalam 5 bulan beruntun dapat menjadi indikator terjadinya penurunan permintaan atau daya beli masyarakat. Meski begitu, kondisi demikian dapat secara tidak langsung mempengaruhi pasar modal, namun tergantung bagaimana kondisi makro ekonomi.Â
BPS mencatat bahwa deflasi pada September 2024 terlihat lebih dalam dibandingkan Agustus 2024. Kelompok pengeluaran penyumbang deflasi bulanan terbesar adalah makanan, minuman dan tembakau dengan deflasi 0,59 persen dengan andil 0,17 persen. Komoditas yang memberikan andil inflasi di antaranya ikan segar dan kopi bubuk dengan andil inflasi masing-masing 0,02 persen, biaya kuliah akademi atau perguruan tinggi kemudian tarif angkutan udara dan sigaret kretek mesin (SKM) yang beri andil inflasi masing-masing 0,01 persen. Dikatakannya, deflasi pada september 2024 sebesar 0,12 persen didorong oleh deflasi komponen bergejolak dan harga diatur pemerintah. Dimana, komponen harga bergejolak mengalami deflasi 1,34 persen dan memberikan andil deflasi 0,21 persen, komoditas yang dominan memberikan andil deflasi adalah cabai merah, cabai rawit, telur ayam ras, daging ayam ras, dan tomat.
Kemudian, komponen harga diatur pemerintah mengalami deflasi sebesar 0,04 persen dengan andil deflasi 0,01 persen, komoditas yang dominan berikan andil deflasi pada komponen ini adalah bensin. Sementara komponen inti mengalami inflasi 0,16 persen dan yang memberikan andil inflasi 0,10 persen, komoditas yang dominan memberikan andil inflasi pada komponen inti adalah kopi bubuk dan biaya akademi atau perguruan tinggi.Â
Peran pemerintah dalam mengatasi Deflasi yaitu pemerintah perlu mengambil langkah proaktif untuk meningkatkan daya beli masyarakat dan mendorong konsumsi. Salah satu cara efektif yang bisa dilakukan adalah melalui pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada masyarakat, khususnya kelompok berpenghasilan rendah yang paling rentan terhadap perubahan kondisi ekonomi. Selain itu, subsidi untuk kebutuhan pokok seperti bahan bakar, pangan, dan energi juga menjadi instrumen penting untuk menjaga daya beli masyarakat dan mendorong konsumsi. Dengan meningkatnya konsumsi, permintaan terhadap barang dan jasa di pasar akan pulih, yang pada gilirannya dapat mengurangi tekanan deflasi.
Selain fokus pada permintaan agregat, pemerintah juga perlu memperhatikan sisi penawaran (supply side) sebagai upaya menghadapi tantangan deflasi. Pemikiran Joseph Schumpeter menjadi sangat relevan dalam konteks ini, yang menekankan pentingnya inovasi, peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), dan lingkungan usaha yang kondusif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Pendekatan Schumpeterian menyarankan bahwa untuk membangkitkan perekonomian, pemerintah perlu memberikan insentif fiskal kepada sektor-sektor strategis, memperkuat kualitas tenaga kerja, serta menciptakan iklim bisnis yang memungkinkan inovasi dan produktivitas.
situasi yang dihadapi Indonesia saat ini adalah akumulasi dari banyak kejadian yang terjadi beberapa waktu lalu. Ini termasuk dampak pandemi COVID-19 yang menyebabkan melemahnya sektor formal, banyaknya pekerja sektor formal yang beralih ke sektor informal sehingga pendapatannya menjadi tidak stabil, hingga peraturan yang tidak memberikan kepastian hukum dalam melakukan investasi sehingga perekonomian sulit berkembang.
Meskipun tidak menampik adanya pengaruh suplai bahan baku yang berlebih karena Indonesia sedang memasuki musim panen, menurut saya mengatakan faktor penurunan daya beli masyarakat yang menyebabkan permintaan di pasaran menjadi lebih rendah adalah sebab yang tidak bisa dilepaskan begitu saja.
deflasi adalah refleksi dari aktivitas ekonomi Indonesia yang dimulai dari penurunan permintaan akibat penurunan daya beli, yang pada akhirnya akan menyebabkan perlambatan pertumbuhan ekonomi. Dampak dari deflasi yang terjadi saat ini juga menjadi hal yang harus diantisipasi. Menurut saya apabila pemerintah tidak segera bertindak, maka ini dapat mengakibatkan pengurangan investasi dan inovasi hingga semakin tingginya tingkat pemutusan hubungan kerja.
Pengarang :
- Noor Rohmatul mutmainnah