Mohon tunggu...
Sindy Riani P.N.
Sindy Riani P.N. Mohon Tunggu... Pengacara - Lawyer

Hukum, Ekonomi, Sosial, Lingkungan

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Agresivitas MK dalam Putusan Perpanjangan Masa Jabatan Pimpinan KPK: Suatu Enigma atau Solusi?

23 Juli 2023   23:22 Diperbarui: 23 Juli 2023   23:23 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Website Resmi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (www.mkri.id)

Sebagai "anak kandung" reformasi, Mahkamah Konstitusi (MK) sesungguhnya memiliki peranan strategis dalam menjaga komitmen pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia melalui pengujian undang-undang yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Namun, komitmen tersebut nampaknya mengalami inkonsistensi yang setidaknya terefleksi dalam Putusan MK Nomor: 112/PUU-XX/2022 mengenai pengujian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) pada 25 Mei 2023. Banyak pakar hukum menilai jika putusan yang dimohonkan oleh Nurul Gufron tersebut sama sekali tidak memiliki urgensi dan sangat politis, terutama terkait dengan perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK.

Nurul Gufron (Wakil Ketua KPK periode 2019--2023) menggugat konstitusionalitas Pasal 29 huruf (e) UU KPK mengenai batas usia pimpinan KPK dan Pasal 34 UU KPK mengenai masa jabatan pimpinan KPK yang dianggapnya telah bertentangan dengan Pasal 28 D UUD NRI 1945. Dalam perkara tersebut, majelis hakim konstitusi mengabulkan seluruh permohonan Pemohon. Sehingga batas usia pimpinan KPK menjadi minimal 50 tahun atau berpengalaman dan maksimal 65 tahun disertai dengan masa jabatan selama 5 tahun. Menariknya, terdapat perbedaaan pendapat (dissenting opinion) antara 5 hakim konstitusi dengan 4 hakim lainnya.

Majelis hakim mayoritas secara singkat mengatakan bahwa ketentuan masa jabatan pimpinan KPK selama 4 tahun adalah tidak saja bersifat diskriminatif tetapi juga tidak adil jika dibandingkan dengan komisi dan lembaga independen lainnya yang sama-sama memiliki nilai constitutional importance. Selain itu, sistem perekrutan pimpinan KPK dengan skema empat tahunan telah menyebabkan kinerja dari pimpinan KPK dalam periode masa jabatan yang sama dinilai sebanyak dua kali oleh Presiden maupun DPR. Penilaian dua kali tersebut dipandang dapat mengancam independensi KPK.

Sedangkan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih sebagai salah satu hakim yang memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion) menerangkan bahwa ketidakseragaman masa jabatan sejumlah komisi atau lembaga negara memang benar adanya. Beliau membandingkan dengan masa jabatan anggota Komisi Informasi yang dibatasi selama 4 tahun, anggota KPPU selama lima tahun, anggota Komnas HAM selama 5 tahun, anggota Komisi Yudisial selama 5 tahun, atau jabatan ketua dan wakil ketua juga anggota KPI Pusat dan KPI Daerah yang masa jabatannya dibatasi selama 5 tahun. Menurutnya, ketidakseragaman mengenai pengaturan masa jabatan komisi/lembaga negara di Indonesia tidak dapat ditafsirkan telah menimbulkan ketidaksetaraan, ketidakadilan, ketidakpastian hukum, dan diskriminatif, serta timbulnya keraguan masyarakat atas posisi dan independensi KPK dalam struktur ketatanegaraan Indonesia.

Secara teoritik, kedua pasal tersebut sejatinya merupakan aturan yang bersifat open legal policy. Aturan jenis ini sepenuhnya merupakan pilihan kebijakan pembuat undang-undang (DPR bersama dengan Presiden) sebagaimana ditentukan Pasal 20 ayat (1) dan (2) UUD NRI 1945. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa peranan MK pada pengujian undang-undang pada dasarnya bukan merupakan bagian dari proses pembentukan peraturan perundang-undangan (legislasi). Secara konstitusional pembentuk undang-undang memiliki keleluasaan dalam menentukan suatu aturan, larangan, kewajiban atau batasan-batasan yang dimuat dalam suatu ketentuan undang-undang.

Jika menilik track record pengujian materiil atas aturan yang bersifat open legal policy, secara paradoksal, MK telah mempertontonkan praktik hyper-activism atau jusristocracy pada perkara ini. Praktik demikian pernah disampaikan oleh Dr. Fajar Laksono (Kepala Biro Hukum dan Administrasi Kepaniteraan) dalam artikelnya berjudul "Paradoks Independen Kekuasaan Kehakiman". Sebagaimana dikenalkan oleh Ran Hirschl (2005), juristocracy dimaknai sebagai tren pengambilan keputusan penting oleh para hakim terutama di pengadilan konstitusi yang memiliki otoritas menafsirkan konstitusi, di mana mereka turut terlalu agresif memengaruhi jalannya roda pemerintahan dan kebijakan negara. Premis ini tidak berlebihan dan cukup beralasan, mengingat MK sebagai "the guardian and the sole interpreter of the constitution", dalam beberapa putusannya telah secara tegas membatasi diri (tidak agresif) terhadap pengujian aturan yang bersifat terbuka (open legal policy). Konsistensi tersebut tercermin pada Putusan MK Nomor 15/PUUV/2007, Putusan MK Nomor 26/PUU-VII/2009, Putusan MK Nomor 37--39/PUU-VIII/2010, Putusan Nomor 56/PUU-X/2012, Putusan Nomor 30 dan 74/PUU-XII/2014.

Sithembiso Dzingwa dalam "The Desirability of Consistency in Constitutional Interpretation" (2011) menyimpulkan bahwa penafsiran konstitusi hanya dapat berubah tatkala dalam putusan sebelumnya telah nyata-nyata terbukti salah. Adanya perbedaan penafsiran konstitusi yang berubah-ubah dalam jangka waktu yang relatif singkat tentu dapat menciptakan ketidakpastian dalam sistem ketatanegaraan dan pemenuhan atas jaminan hak dasar.

Dengan demikian, jika ditelaah secara kritis, pertimbangan hukum hakim konstitusi mayoritas yang mengabulkan seluruh permohonan Pemohon tidak cukup memiliki basis argumentasi yang kuat. Pertama, putusan tersebut terlalu dipaksakan. Meskipun telah dipahami bahwa kekuasaan lembaga yudikatif Indonesia (termasuk MK) tidak menganut preseden (jurisprundence), namun pengabulan uji konstitusionalitas pasal-pasal a quo tidak memenuhi pengecualian yang dipersyaratkan terhadap pengujian open legal policy yaitu bertentangan dengan moralitas, rasionalitas, dan menimbulkan ketidakadilan yang intolerable, merupakan penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir), atau dilakukan secara sewenang-wenang (willekeur) dan melampaui kewenangan pembentuk undang-undang, dan/atau bertentangan dengan UUD NRI 1945. Justru, jika merujuk pada putusan-putusan uji materiil terhadap open legal policy terdahulu yang apple to apple sebagaimana tersebut di atas, MK sebetulnya telah menunjukkan sikap yang tegas dan konsisten terhadap open legal policy yakni tidak agresif/intevensif.

Kedua, terkhusus mengenai ketentuan Pasal 34 UU KPK, sejalan dengan sikap Yuris Rezha Kurniawan (Pakar HTN UGM), putusan a quo sama sekali tidak memiliki urgensi dan tidak berkorelasi positif terhadap upaya pemberantasan korupsi. Pernyataan ini dikuatkan oleh Prof. Susi Dwi Harijanti yang mengatakan bahwa perpanjangan masa jabatan ini tidak relevan dijadikan sebagai indikator dalam mengukur independensi KPK. Justru, pernyataan yang muncul kemudian adalah apakah pimpinan sebelumnya yang menjabat selama empat tahun tidak menunjukkan independensi dan integritas KPK?.

Juru Bicara MK saat itu (Dr. Fajar Laksono) menyatakan bahwa putusan tersebut akan diberlakukan pada masa kepemimpinan Firli Bahuri (eksisting). Bak gayung bersambut, Wakil Menkumham Prof. Eddie O.S. Hiariej pada 26 Mei 2023 juga menuturkan Presiden Jokowi akan menerbitkan Keputusan Presiden terkait perubahan masa jabatan Pimpinan KPK yang akan berakhir 20 Desember 2023, diperpanjang 1 tahun menjadi 20 Desember 2024. Terlepas dari kontroversinya, putusan a quo idealnya diberlakukan sesuai dengan asas hukum non-retroaktif (tidak berlaku surut). Oleh karenanya, amar putusan dimaksud seyogyanya diberlakukan untuk pimpinan KPK masa mendatang, bukan untuk pimpinan KPK eksisting.

Pada akhirnya, teka-teki (enigma) besar kemudian menyeruak. Seberapa gentingnya perpanjangan masa jabatan tersebut diberlakukan secara surut terhadap kepemimipinan Firli Bahuri CS? Lalu, apa signifikansinya perpanjangan masa jabatan tersebut terhadap peningkatan kinerja KPK dalam pemberantasan korupsi di Indonesia?. Tidakkah kita mengamini adanyaadigium "power tends to corrupt" dari Lord Acton adalah suatu keniscayaan?.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun