Mohon tunggu...
Sindy Riani P.N.
Sindy Riani P.N. Mohon Tunggu... Pengacara - Lawyer

Hukum, Ekonomi, Sosial, Lingkungan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mendekonstruksi Nalar Keliru dan Inkonstitusional Wakil Rakyat dalam Pemberhentian Hakim MK Aswanto

3 Oktober 2022   16:10 Diperbarui: 3 Oktober 2022   16:56 352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada Kamis 29 September 2022 lalu, publik kembali dikejutkan oleh aksi akrobatik wakil rakyat (DPR) yang secara tiba-tiba melakukan pemberhentikan Prof. Aswanto sebagai Hakim MK sekaligus pergantiannya oleh Prof. Guntur Hamzah pada Rapat Paripurna ke-7 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2022-2023. Dalam rapat paripurna tersebut, Ketua Komisi III Bambang Wuryanto menjelaskan bahwa alasan pemberhentian sekaligus penggantian Hakim MK Aswanto adalah karena yang bersangkutan seringkali menganulir produk undang-undang yang dibuat oleh DPR. Padahal usut punya usut, Prof. Aswanto merupakan hakim konstitusi yang diusulkan oleh DPR (Kompas.com 1/10/2022).

Bambang Wuryanto berujar, "Tentu mengecewakan dong. Ya..bagaimana kalau produk-produk DPR dianulir sendiri oleh dia, dia wakilnya dari DPR. Kan gitu toh." Ia kembali menambahkan, "Dasarnya Anda tidak komitmen. Enggak komit dengan kita. Ya mohon maaflah ketika kita punya hak, dipakailah," imbuh Bambang. (Kompas.com 1/10/2022).  Keputusan politis yang disetujui oleh 5 dari 9 fraksi di DPR ini tentu mengundang kontroversi dan tanda tanya besar dari publik dan bahkan mantan-mantan hakim konstitusi.  Apakah tindakan pemberhentian hakim konstitusi Aswanto tersebut dibenarkan dan konstitusional?

Secara historik, MK merupakan lembaga peradilan di samping MA yang diadopsi dari konsep constitutional court dan rekognisi dalam amandemen UUD NRI 1945 pada tahun 2001. Berbeda halnya dengan MA, MK merupakan lembaga yudikatif yang diberikan kewenangan salah satunya untuk menguji UU terhadap UUD NRI 1945 sebagaimana termaktub dalam Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945.

Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945:

"Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum."

Kemudian, pada 13 Agustus 2003 DPR dan Pemerintah akhirnya menyetujui secara bersama sekaligus mengesahkan penerbitan dasar hukum pembentukan MK melalui UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK). Dalam perkembangannya, UU MK ini telah mengalami perubahan sebanyak tiga kali, yang mana terakhir kali diubah melalui UU Nomor 7 Tahun 2020 (UU 7/2020).

Menyoal kembali mengenai keabsahan pemberhentian Prof. Aswanto sebagai hakim MK. DPR melalui Bambang Wuryanto yang menyatakan bahwa Hakim MK Aswanto diberhentikan dengan alasan bahwa yang bersangkutan tidak memiliki komitmen untuk mewakili DPR sebagai lembaga pengusul melalui putusan-putusannya yang kerap kali membatalkan UU yang dirumuskan DPR, merupakan nalar yang keliru. Sebab, menurut Prof. Jimly Asshiddiqie, meskipun yang bersangkutan diusulkan DPR, akan tetapi tidak dapat dipersepsikan bahwa ia merupakan respresentator atau perpanjangan tangan DPR. Lebih lanjut, dekonstruksi kekeliruan bernalar tersebut dielaborasi dalam uraian sebagai berikut:

Pertama, dari segi konstitusionalitas. Sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945 di atas, tindakan hakim konstitusi Aswanto yang diduga seringkali menganulir UU yang disusun oleh DPR, demi hukum tidak melanggar hukum (konstitusi). Kewenangan membatalkan atau menyatakan suatu UU tidak memiliki kekuatan hukum mengikat (inkonstitusional) merupakan kewenangan yang inheren pada jabatannya (ex officio) sebagai hakim MK. Terlebih lagi jika putusan tersebut didasarkan pada prosedur hukum acara MK dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, klaim bahwa hakim MK Aswanto tidak memiliki komitmen sebagai hakim konstitusi tidak dapat dibenarkan (keliru).

Kedua, dari segi argumentasi. Pasal 87 UU 7/2020 pada intinya menyebutkan bahwa hakim konstitusi mengakhiri tugasnya sampai usia 70 (tujuh puluh) tahun atau selama keseluruhan masa tugasnya tidak melebihi 15 tahun. Dengan demikian, maka seharusnya masa tugas Prof. Aswanto berakhir pada 21 Maret 2029 atau setidak-tidaknya hingga 17 Juli 2029 saat beliau berusia 70 tahun. Di samping itu, yang bersangkutan juga tidak melakukan perbuatan tercela, melanggar hukum, etik atau melanggar sumpah jabatan hakim konstitusi sebagaimana Pasal 23 UU 7/2020 mengenai ketentuan pemberhentian hakim MK.

Ketiga, ditilik dari segi kewenangan. Secara normatif, DPR tidak memiliki wewenang untuk memberhentikan hakim MK, sekalipun Prof. Aswanto merupakan hakim MK yang diusung oleh lembaga negara tersebut. Merujuk pada Pasal 23 ayat (4) UU 7/2020 diterangkan bahwa "Pemberhentian hakim konstitusi ditetapkan dengan Keputusan Presiden atas permintaan Ketua Mahkamah Konstitusi". Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa yang memiliki kewenangan untuk memberhentikan hakim MK adalah mekanisme dalam MK itu sendiri, yang mana keputusan dimaksud selanjutnya disampaikan oleh ketua MK kepad Presiden dan ditindaklanjuti dengan keputusan presiden. Dari sini, dapat dipahami bahwa demi hukum pemberhentian hakim MK Aswanto dalam sidang paripurna DPR tersebut tidaklah dapat dibenarkan.  Sebab, secara hukum DPR hanya berwenang untuk mengusulkan, namun tidak memiliki kewenangan untuk memberhentikan hakim MK.

Pada RUU perubahan keempat UU MK yang disahkan menjadi inisiatif DPR pada 29 September 2022 memang diatur bahwa DPR sebagai salah satu pengusul memiliki kewenangan untuk dapat mengevaluasi atau memberhentikan hakim di tengah jalan. Akan tetapi, RUU tersebut belumlah menjadi UU (hukum positif), sehingga tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat (unforceable). Dengan demikian, dapat dimaknai bahwa pada saat yang bersamaan, ironisnys DPR tengah mempraktikkan tindakan yang sewenang-wenang dan mengangkangi konstitusi (inkonstitusional).

Keempat, dari segi prosedur. Menurut Pusat Studi Hukum dan Kebjakan Indonesia (PSHK), pemberhentian hakim konstitusi Aswanto tersebut merupakan hal yang janggal karena sidang paripurna dilaksanakan tanpa proses yang terjadwal dan tidak diketahui publik. Jika dibiarkan, tindakan DPR ini secara nyata mendekonstruksi independensi peradilan, yang salah satu esensi dari independensi peradilan adalah masa jabatan hakim yang tetap dan lepas dari intervensi lembaga lain. (Hukumonline 2/10/202)

Mendasarkan pada aras pertimbangan di atas, sepatutnya DPR membatalkan keputusan pemberhentian Prof. Aswanto. Apabila DPR tetap bersikukuh, seyogyanya Presiden tidak mengeluarkan surat keputusan presiden tentang pengangkatan Prof. Guntur Hamzah sebagai hakim konstitusi dan memerintahkan Prof. Aswanto kembali menjabat sesuai ketentuan yang berlaku. Di sisi lain, banyak pihak terutama PSHK menolak dengan tegas atas revisi keempat UU MK yang memberikan kewenangan pada lembaga pengusul hakim konstitusi untuk dapat mengevaluasi atau memberhentikan hakim di tengah jalan. Sebab, aturan ini jelas mendekonstruksi independensi hakim MK.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun