Mohon tunggu...
Sindy Riani P.N.
Sindy Riani P.N. Mohon Tunggu... Pengacara - Lawyer

Hukum, Ekonomi, Sosial, Lingkungan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Tak Jadi Upgrade Daya, Quo Vadis Polemik Oversupply PLN

22 September 2022   13:04 Diperbarui: 25 September 2022   07:15 890
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rasa-rasanya, kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) belum lama ini sukses mengguncang tatanan sosial ekonomi masyarakat Indonesia. 

Namun kini, masyarakat kembali dicengangkan oleh wacana penghapusan listrik 450 volt ampere (VA) melalui pengalihan daya listrik 450 VA ke 900 VA. 

Meskipun disebutkan bahwa pengalihan daya tersebut tidak akan dikenakan biaya, namun pengamat kebijakan publik Bambang Haryo Soekartono menilai bahwa wacana ini akan semakin menyusahkan masyarakat yang masih tertatih-tatih bangkit dalam kesulitan ekonomi akibat pandemi dan kenaikan harga BBM (liputan6.com). 

Plt Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana menyatakan bahwa narasi penghapusan listrik 450 VA ini muncul karena adanya komitmen pemerintah agar kebijakan pemberian subsidi menjadi semakin tepat sasaran (CNCB Indonesia). 

Di samping pertimbangan tersebut, pada 12 September 2022 lalu, Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR Said Abdullah mengungkapkan bahwa diskursus ini tidak terlepas dari fenomena oversupply listrik PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) (PLN) (tempo.co). 

Meskipun pada akhirnya Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo dan Presiden Joko Widodo membantah dengan tegas isu tersebut, tapi bukan tidak mungkin kebijakan pengalihan daya listrik tersebut masih mungkin diambil di kemudian hari, bukan?

Lantas apakah memang benar jika persoalan ini hanya berkutat pada permasalahan subsidi yang tidak tepat sasaran dan oversupply listrik PLN?

Menyoal mengenai kebijakan subsidi yang tidak tepat sasaran, secara paradoksal Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menyatakan bahwa inisiasi kebijakan pengalihan listrik 450 VA menjadi 900 VA justru merupakan langkah yang irrasional. 

Ia menilai bahwa subsidi listrik 450 VA dirasakan lebih tepat sasaran daripada subsidi BBM yang banyak digunakan oleh kalangan masyarakat mampu. 

Pembebanan penyerapan oversupply pasokan listrik PLN tidak selayaknya dibebankan kepada masyarakat miskin melalui pengalihan daya yang semakin memberatkan mereka di tengah kenaikan harga BBM dan spillover effectsnya.

Pada rapat panitia kerja DPR mengenai asumsi dasar Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RUU APBN) Tahun Anggaran 2023 Ketua Banggar DPR Said Abdullah mengungkapkan bahwa saat ini oversupply listrik PLN telah mencapai 6 gigawatt (GW) dan akan bertambah menjadi 7,4 GW di 2023, bahkan pada 2030 diperkirakan akan mencapai 41 GW. 

Situasi ini akan semakin pelik jika nanti energi baru terbarukan (EBT) mulai masif direalisasikan, sehingga pada 2030 diperkirakan PLN akan mengalami oversupply sebesar 41 GW (kompas.com).

Jika ditarik secara historik, pangkal persoalan dari oversupply listrik yang dialami oleh PLN tidak lain adalah karena ambisi proyek listrik sebesar 35.000 megawatt (MW) milik pemerintah. 

Status quo tersebut rupanya telah menahun karena pemerintah Indonesia terus "memaksakan" ambisi pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) baru di tengah stagnasi ekonomi. 

Akibatnya, sesuai dengan Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2021-2030, pembangkit baru pun terus dibangun (kompas.com). 

Belum lagi, fenomena oversupply ini diperparah dengan adanya klausul  "take or pay" pada kontrak yang dianut oleh PLN dalam kontrak pembelian listrik dengan produsen listrik swasta atau independent power producer (IPP).

Menurut Deon dalam Podcast di Atas Meja oleh Indonesia Corruption Watch, klausul "take or pay" digunakan PLN akibat terjadinya krisis ekonomi pada 1998. Krisis ekonomi saat itu menimbulkan domino effect terhadap pasokan listrik yang menjadi langka. 

Pada masa itu, PLN mengalami kesulitan dalam membangun pembangkit listrik baru karena tak punya uang. Oleh karenanya, skema kontrak  dengan klausul"take or pay" kemudian digulirkan untuk menarik investor dan pembangkit independen agar mau membangun pembangkit guna menopang kebutuhan listrik PLN.

Melalui Permen ESDM No.10 Tahun 2017 tentang Pokok-Pokok dalam Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (Permen ESDM 10/2017) tepatnya pada Pasal 16 ayat (3), pemerintah mengatur bahwa PLN akan dikenakan penalti (take or pay) manakala PLN tidak dapat menyerap pasokan listrik dari IPP.

Pasal 16 ayat (3) Permen ESDM No.10 Tahun 2017:

"Dalam hal PLN tidak dapat menyerap tenaga listrik sesuai kontrak disebabkan kesalahan PLN maka diwajibkan membayar penalti kepada IPP selama periode tertentu."

Dengan klausul tersebut, artinya, mau dipakai atau tidak, listrik yang telah diproduksi oleh IPP tetap harus dibayar oleh PLN sesuai dengan kontrak di awal. Misalnya saja, jika PLN membuat kontrak dengan sebuah perusahaan IPP untuk membeli listrik sebesar 80 GW. 

Tetapi seiring berjalannya waktu, pasokan listrik yang dibutuhkan PLN hanya sebesar 70 GW, namun sebagaimana ketentuan dalam kontrak, PLN tetap harus membayar senilai dengan harga listrik 80 GW. 

Pada mekanisme ini, PLN sebagai offtaker harus mengambil semua risiko pasar yang ada dengan membeli listrik yang sebenarnya tidak diperlukan, sedangkan IPP terbebas untuk menanggung potensi kerugian akibat fluktuasi pasar. 

Pada tahun 2017, Institute for Energy Economics and Financial Analysis (EFFA) memperkirakan bahwa PLN harus membayar sekitar USD 3,16 milyar per GW kapasitas terpasang dari PLTU batu bara untuk selama masa perjanjian jual beli listrik atau power purchase agreement (PPA) (Chung, 2017). 

Dengan estimasi bahwa 26,8 GW PLTU Batu bara akan dibangun sampai tahun 2027, maka PLN harus bisa memberikan kepastian pembayaran sekitar USD 84,7 milyar atau sekitar IDR 1.270 trilyun selama masa PPA (greenpeace,2019)

Seiring berjalannya waktu, lambat laun, keberadaan klausul ini rupanya telah "melambungkan" cadangan listrik PLN hingga mencapai 50% dari yang idealnya hanya sebesar 30%. 

Tak hanya itu, skema tersebut juga turut menimbulkan tagihan pembelian listrik dari IPP tahun 2021 yang diperhitungkan mencapai lebih dari Rp 102-103 triliun. 

Oleh karenanya, tidak berlebihan jika Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) Fabby Tumiwa memandang skema ini sebagai kebijakan yang cukup mengerikan. Tak heran jika saat ini PLN tengah berjuang keras mencari solusi guna meningkatkan permintaan listrik dan melakukan efisiensi (katadata.co.id).

Berbeda halnya dengan kondisi yang terjadi di Singapura dan Iran. Kedua negara tersebut sukses meningkatkan efisiensi melalui pertimbangan ekonomi dan transisi dari monopoli ke kondisi pasar yang lebih kompetitif (liberalisasi). 

Keduanya telah menerapkan sistem pasar terbuka atau open market operation (OEM) dalam sistem jual beli energi listrik di masing-masing teritorinya. 

Jauh sebelum itu, bahkan negara-negara eropa seperti Belanda, Jerman, dan Belgia sudah terlebih dahulu menerapkan konsep pasar daya dengan menerapkan EOM system tersebut.

Sistem EOM ini merupakan sistem di mana pembeli dan penjual dapat secara bebas untuk terlibat dalam transaksi jual beli energi listrik tanpa intervensi pemerintah. 

Melalui mekanisme EOM ini nantinya PLN dapat dengan bebas untuk menyerap daya listrik sesuai kebutuhan beban dengan memilih kombinasi pembangkitan yang menghasilkan biaya pokok penyediaan (BPP) terendah. 

Lain halnya dengan sistem "take or pay", skema tersebut justru membuat BPP pembangkitan semakin tinggi, sehingga berimbas pada tarif listrik yang menjadi mahal untuk penggunaan pada masyarakat dan sektor industri.

Risiko beban keuangan PLN yang bersifat eksponensial karena penerapan klausul "take or pay" dalam mekanisme PPA di Indonesia tidak boleh terus dibiarkan. 

Pemerintah perlu segera mendorong dan mendukung PLN untuk melakukan upaya renegosiasi kontrak PPA dengan perusahaan IPP eksisting guna memperoleh manfaat yang lebih berkeadilan. 

Atau bahkan jika diperlukan, pemerintah Indonesia dapat mengikuti langkah negeri Jiran (Singapura) yang telah lebih dulu secara radikal meliberalisasi sistem jual beli listriknya dengan penerapan EOM system. 

Dua alternatif ini kiranya jauh lebih arif dan bijaksana untuk diambil, ketimbang menggunakan pemikiran reaktif dengan memaksakan penyerapan oversupply listrik melalui pengalihan daya listrik 450 VA menjadi 900 VA dengan dalih subsidi yang tidak tepat sasaran sebagai bumbu. 

Kebijakan reformulatif ini makin mendesak untuk ditempuh jika memperhatikan bahwa berdasarkan hasil penelitian, pada 2030 nanti nilai investasi energi terbarukan melalui pembangunan pembangkit listrik tenaga surya akan lebih murah daripada mengoperasikan PLTU yang sudah ada.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun