Di awal menjabat sebagai Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Pak Anies Baswedan mengemukakan bahwa yang harus direvolusi mentalnya adalah guru. Meski hal ini bukan barang baru, sebenarnya, tapi tak ayal lontaran itu menjadi semacam lidah api yang menjilat dan membakar banyak orang. Bagi guru yang sudah menyadari perannya tentu akan tersenyum lega mendengar lontaran tersebut karena gembira bahwa teman-temannya yang belum juga akan mendapatkan semacam 'pemulihan'.
Melihat keseharian para guru khususnya dan berbagai kasus yang muncul dalam pendidikan kita, revolusi mental tersebut memang menjadi keharusan. Bagaimana tidak, banyak guru yang sering mengeluh, khususnya tentang fasilitas dan kesejahteraan. Ketika keluhan itu muncul dari guru pedalaman, mungkin bisa sangat dimaklumi. Akan tetapi, tidak jarang justru muncul dari guru di perkotaan atau yang tidak jauh dari kota.
Persoalan kesejahteraan memang paling sensitif. Meski pemerintah telah menerapkan kebijakan sertifikasi, dalam banyak hal tidak menolong. Sertifikasi yang dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan, baik materi maupun akademik, nyatanya ada yang justru malah mendorong guru penerima menjadi konsumtif. Rangsangan tunjangan yang dimaksudkan agar guru lebih fokus dalam melaksanakan tugasnya, justru malah mengalihkan fokus mereka menjadi lebih banyak ke soal pengurusan tunjangan.
Rasanya, meski juga ada keluhan, guru-guru di daerah justru menunjukkan 'greget' yang lebih baik. Selama beberapa waktu saya mengurusi sebuah web komunitas guru dan terlibat di dalamnya, aktivitas guru daerah dalam meningkatkan kompetensi akademik termasuk pengajarannya malah terasa lebih menonjol. Berbagai aplikasi yang membantu proses belajar mengajar agar lebih menyenangkan justru muncul dari tangan para guru daerah tersebut.
Beberapa fenomena di atas, cukuplah untuk menekankan betapa pentingnya revolusi mental guru. Mungkin ada baiknya untuk para guru diadakan semacam program "tukar nasib". Persis seperti sebuah acara yang pernah diadakan di sebuah stasiun televisi swasta beberapa waktu lalu. Guru-guru di kota, yang terbiasa berada dalam zona nyaman, ditempatkan ke daerah/pelosok. Sementara guru yang di daerah/pelosok ditempatkan di kota. Mereka harus bertukar tempat barang setahun atau dua tahun. Dengan demikian, mereka akan saling merasakan apa yang sebenarnya terjadi.
Selain sebagai upaya revolusi mental, barangkali program seperti itu juga bisa untuk mengatasi persebaran guru yang tidak merata. Guru-guru di kota yang kurang jam mengajar sehingga harus klayapan ke sana-ke mari mencari tambahan jam kenapa tidak disebar ke daerah yang jelas lebih membutuhkan? Tentu ini akan membangun semangat kesatuan yang lebih baik sekaligus membangkitkan lagi tanggung jawab sebagai bagian dari NKRI. Bagaimana? Semoga Pak Menteri medengar ini!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H