Tadi malam, seorang kolega saya tiba-tiba sudah nongol di pintu. Wajahnya kelu, dilipat entah berapa lipatan. Tanpa saya tanya, sebuah cerita meluncur dari mulutnya.
Rupanya kolega saya itu sedang mengkhawatirkan adiknya. Sang adik sedang menempuh pendidikan S2 di sebuah PTS besar dan ternama di wilayah Tangerang. Sebuah PTS yang berhasil mencuatkan namanya karena dulu pernah menelorkan seorang pakar yang cukup diakui.
Singkat cerita, sang adik ini memiliki teman yang selalu menempelnya. Teman satu bimbingan. Teman sang adik ini adalah seorang guru di salah satu sekolah internasional di kawasan Tangerang juga. Entah bagaimana ceritanya, adik teman saya itu memberikan soft copy tesisnya ke temannya tadi. Apa yang terjadi, ketika menjelang ujian, ternyata sang dosen pembimbing mengetahui bahwa ternyata dua tesis dari adik teman saya dan temannya itu sama.
Akibat kejadian itu, maka adik teman saya itu kena masalah. Tesisnya dianggap menjiplak. Meski sudah mengajukan pembelaan dengan segala alat bukti dan kronologi, toh belum ada keputusan apapun.
Yang menjadi tanda tanya adalah, mengapa kasus itu baru terbongkar ketika sudah menjelang ujian tesis? Padahal, dua orang itu berada di bawah satu bimbingan seorang dosen pembimbing. Apakah sang dosen tidak mengenali adanya penjiplakan itu sebelumnya? Kalaupun sang dosen tak sanggup mengenali karena jumlah mahasiswa yang harus dibimbingnya sangatlah banyak, apakah intuisinya tidak bekerja? Atau, jangan-jangan dosen sendiri yang menjadi actor dari semua itu?
Tiba-tiba saya jadi teringat dosen pembimbing saya dulu. Namanya Pak Slamet Soewandi. Dulu, beliau dikenal sebagai dosen yang disegani karena sangat teliti. Dan itu memang terbukti. Bayangkan, untuk mendapatkan bimbingannya saya harus datang pagi-pagi, menunggu kedatangannya di pintu ruangannya. Apalagi melihat hasil bimbingannya, bahan yang sudah saya masukkan biasanya kembali dengan berbagai tanda di tiap inchi tulisan saya dan saya harus menerjemahkan tanda-tanda itu sendiri. Ah, masihkah dosen-dosen sekarang seperti Beliau? Semoga!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H