Mohon tunggu...
Isna Puryanta
Isna Puryanta Mohon Tunggu... -

Barangkali, sayalah guru gagal itu. Gagal setia pada keadaan menjadi suruhan pelaksanaan kebijakan. Gagal paham dengan arah kejujuran pendidikan. Dan gagal berpasrah pada buruknya keadaan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kamu Cuma Bebek

27 Desember 2012   00:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:59 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mungkin sudah sifat manusia untuk selalu ingin dikenang jejaknya. Walaupun banyak manusia belajar ikhlas, melakukan sesuatu tanpa pamrih, tetapi toh ketika pada suatu ketika ada orang lain yang mengingat jejaknya pasti akan merasa senang.

Boleh jadi, perasaan itu muncul begitu saja dan tak terhindarkan. Minimal, itu yang sering saya rasakan. Sebagai guru, saya mengajar karena kesenangan semata. Tapi kan dapat gaji? Memang, dan itu baru saya mengerti belakangan bahwa menerima gaji tidak berbanding lurus dengan kandungan pengabdian di dalamnya.

Kok kesenangan semata, sih? Yakin?

Awalnya saya juga tidak yakin. Akan tetapi, kata-kata yang muncul dari mulut seorang teman yang datang ke rumah pas hari pertama saya tiba di kampung membuka kesadaran saya,

“Lha kamu itu tulisan banyak sekali kok gak segera dibendel jadi sebuah buku, misalnya, itu gimana?”, kata teman itu di sela obrolan sambil minum kopi.

Pertanyaan tersebut sungguh menyentak kesadaran saya. Saya jadi ingat, sejak beberapa tahun lalu saya menulis hampir setiap hari. Semua berawal dari kegilaan ngeblog saya. Hanya saja, saya lebih banyak menulis di blog keroyokan. Ada kesenangan yang saya dapatkan di situ.

“Malas mengumpulkan tulisan yang tersebar itu!”, jawabku datar.

“Hemm….kamu itu kayak bebek, bertelur doang tapi nggak mau mengeram!”

Saya tersenyum kecut. Boleh jadi omongan teman saya itu benar.

“Memangnya kamu sudah cukup puas kalau ada muridmu yang menghasilkan sebuah novel seperti waktu itu? Kamu puas ketika muridmu sudah bisa menjadi sebuah script writer di sebuah stasiun televisi?”, ia mendesakku.

“Begitulah….!”, lagi-lagi saya menjawab dengan kecut.

“Tapi kamu tidak memikirkan dirimu sendiri!”

“Maksudmu?”

“Mungkin kalau kamu mau sedikit memaksakan diri untuk mengumpulkan tulisan-tulisan mu, bisa jadi menjadi sebuah buku yang akan mendatangkan uang!”

“Gitu, ya?”

“Saya tahu kamu sudah tahu. Cuma ya malasmu itu!”, dengusnya sengit.

Memang, seorang murid saya sudah menghasilkan novel. Seorang lagi sudah berhasil menjadi penulis script di sebuah televisi. Beberapa orang yang dulu saya perkenalkan dengan sebuah komunitas tertentu juga sudah berhasil menjuarai lomba di komnitas tersebut.

“Mereka mengingatmu?”

“Tidak!”, jawab saya sambil ngakak.

“Kamu tidak sakit hati?”

“Apakah kamu melihat rupa sakit hati di wajahku?”

Ia melengos.

“Padahal, sebenarnya rupa itu yang ingin aku lihat!”, dengusnya.

Hemm….entahlah, sampai saya menulis inipun, saya masih belum bisa beranjak. Menulis ya menulis saja, berbagi ya berbagi saja. Itu sudah sangat membuat saya senang. Mau apa lagi?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun