Pagi tadi, begitu membuka akun saya di kompasiana ini saya mendapatkan sebuah ‘oleh-oleh’. Menarik sekali oleh-oleh itu karena bukan berupa barang atau sesuatu yang langsung bisa ditaksir nilai nominalnya. Oleh-oleh kali ini sungguh luar biasa nilainya, jauh melebihi segala barang yang ada. Ya, sebentuk puisi yang tidak begitu panjang. Nyatanya, meski hanya tak sampai sepuluh baris puisi tersebut mampu membuat saya merenung sepuluh kali dalamnya sumur. Berikut ini saya salin tempelkan lengkap oleh-oleh tersebut:
Mas Sindu,
Ini oleh-oleh semoga berkenan, puisi dari anak saya (3 SD) yang sudah dibukukan dalam 55 bahasa.
Kalau aku besar
kalau aku besar/aku ingin lautan kecil/aku ingin dunia kecil/karena aku besar.
kalau aku besar/aku ingin semuanya kecil/karena aku besar
Kali ini, saya tak hendak bercerita betapa saya tergetar pada akhirnya setelah membaca puisi tersebut. Ada energi lain yang muncul selain keinginan untuk menggali makna puisi tersebut lebih jauh. Pikiran saya tiba-tiba melayang kepada murid-murid saya. Aha......ini bisa untuk bahan belajar mereka nanti, begitu pekik hati saya.
Sampai di sekolah, kebetulan saya harus mengajar di kelas XA. Dan kebetulan, dari kemarin memang saya sedang menuntun mereka menemukan kata-kata yang pantas untuk sebuah puisi. Maka segera saja saya tuliskan baris-baris puisi di atas di papan tulis. Anak-anak terdiam. Selesai menuliskan puisi tersebut saya diam tanpa aktivitas apapun. Sengaja memang, saya biarkan anak-anak itu main kasak-kusuk mencoba menebak makna puisi itu, berkomentar tak jelas, bahkan saya dengar samara ada yang mencoba menebak-nebak maksud saya menuliskan puisi tersebut.
Selang lebih kurang lima menit kemudian, saya mulai buka suara.
“Coba, menurut kalian puisi ini bagus atau tidak? Yang setuju bagus angkat tangan kanan!”
Satu persatu anak-anak mengangkat tangannya. Agak lama, hanya 9 tangan yang terangkat dari total 23 tangan kanan yang ada.
“Ada lagi?”, pancing saya.
Beberapa menit saya menunggu, ternyata tidak satupun tangan yang terangkat lagi. Lantas, saya menuliskan keterangan seperti yang dituliskan rekan pengirim oleh-oleh itu, yaitu bahwa puisi tersebut ditulis oleh anaknya yang masih kelas 3 SD dan sudah dibukukukan dalam 55 bahasa.
Setelah saya tuliskan keterangan tersebut, terdengar bunyi-bunyi aneh tidak jelas meluncur dari mulut murid-murid saya.
“Nah, sekarang sekali lagi, yang setuju bahwa puisi tersebut bagus silakan angkat tangan kanan!”, saya mengulang pertanyaan di awal pelajaran tadi. Dan....ufffffhh..........! Kali ini serempak, 23 tangan kanan milik siswa kelas XA terangkat tinggi-tinggi. Saya ngakak.........
“Hah...Bapak, bisa saja menjebak kami!”, sungut salah seorang anak.
“Baik, coba kamu Nak, katakan apa yang baru saja terjadi !”, pinta saya sambil menunjuk anak yangbersuara tadi.
“Yah, bahwa ternyata kami belum bisa objektif dalam melihat sesuatu, Pak!”
Saya tersenyum. “Lantas?”, saya mencoba memancingnya.
“Kami harus lebih banyak membaca puisi, Pak!”, serobot seorang anak yang lain.
“Anak kelas 3 SD bisa seperti itu, kami juga harus bisa, Pak!”, sebuah suara juga terdengar dari sudut yang lain.
Ah, terima kasih Pak QZ, Anda telah membantu saya menyuntikkan virus semangat dan pemahaman kepada anak-anak saya. Terimakasih dan salam hormat!
@Tulisan ini terinspirasi dari oleh-oleh dari Pak Qiniman Zain, rekan kompasianer juga. Bisa pula dibaca di http://guraru.org
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H