Potret kecurangan Pemilu 1997 ini sama dan sebangun dengan kecurangan yang terjadi dalam Pemilu/Pilpres 2024. Jika pada Pemilu 1997 kecurangan dilakukan pada tataran teknis, pada Pemilu 2024 kecurangan terindikasi dimulai dari pelanggaran konstitusi, undang-undang, dan hukum, serta pada proses pencapresan, debat capres, keberpihakan pada koalisi parpol, dan keberpihakan pada paslon tertentu. Aktor intelektual dari kecurangan-kecurangan itu, menurut Ferry Amsari (Pakar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas), adalah Jokowi sendiri yang sejak awal menyatakan akan “cawe-cawe” dalam urusan Pemilu/Pilpres.
Pada Pemilu 1997, dugaan kecurangan partai penguasa Golkar hanya menggunakan birokrasi (Korpri), Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), Keluarga Besar ABRI, dan afiliasinya sebagai penyumbang suara. Akan tetapi, pada Pemilu 2024, Organisasi Masyarakat Sipil (ICW, Themis Indonesia, AJI, dsb.), pada 12 Februari 2024 menyatakan telah menemukan indikasi kecurangan Pemilu 2024 pada setiap tahapan seperti mengerahkan Polri, TNI, Pegawai Negeri Sipil/ASN, Kepala Daerah (Pusat sampai Kelurahan) untuk menjadi operator dan pendukung kemenangan parpol dan paslon yang ia dukung. Hal itu termasuk menggunakan APBN dan fasilitas negara untuk mempercepat realisasi Bansos, BLT, Dana Desa, serta mempercepat pengangkatan dan kenaikan Gaji PNS.
Sama dengan Suharto, menurut Sekjen DPP PDIP Hasto Kristiyanto pada 10 Maret 2024, ada bukti-bukti program SIREKAP diubah untuk mematok perolehan suara Ganjar Mahfud 17 persen pada Pemilu 2024. “Desain perolehan suara ini dilakukan oleh sebuah kekuatan besar yang berada di belakang KPU," ujarnya. Namun, apa yang dilakukan Jokowi tidak etis dan bermoral seperti pemerintahan Suharto (Orde Baru) yang merupakan wujud pemerintah otoriter dengan mengangkangi hukum, tidak memedulikan etika, memaksakan kehendak, dan menjadikan Pemilu sebagai sarana melanggengkan kekuasaan keluarga dan kroninya. Hal ini disampaikan saat Pernyataan Koalisi Masyarakat Sipil pada 8 Februari 2024.
Guru Besar Turun Gunung
Pada Pemilu 1997, parpol pesertalah yang melakukan protes terhadap kecurangan sejak awal, proses kampanye, pemungutan suara, dan penghitungan suara. Tetapi pada Pemilu/Pilpres 2024, para Guru Besar dan Civitas Academica mengemukakan rasa prihatin atas adanya kebrutalan pelanggaran etika dan moral dengan memanipulasi konstitusi dan ketentuan peraturan perundangan. Selain itu, juga kemungkinan adanya kecurangan (fraud) dalam Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) dan lembaga yang bertanggungjawab terhadap pengembangan sistem (BSSN, BIN, dan Kemkominfo) yang diragukan kenetralannya.
Pemilu 1997 sudah selesai, Panitia Pemilu mengumumkan perolehan suara fiktif dari masing-masing provinsi sesuai arahan dari Tim Pemenangan Golkar. Dalam pertemuan penulis dengan pendiri Golkar, Dr. Ir Midian Sirait, ia mengakui apa yang diumumkan sama sekali tidak mengacu pada perolehan suara dari lapangan. Hasil Pemilu 1997 sesuai dengan rencana Golkar memperoleh suara lebih dari 70%, yakni 74,51%, PPP 22,43%, dan PDI 3,06%.
Namun, malang tidak bisa ditolak. Setelah DPR RI terbentuk berdasar Pemilu yang diselenggarakan pada 29 Maret 1997 itu, Indonesia dihajar Krisis Moneter parah yang menghabisi nilai rupiah. Panik mengatasi Krisis Moneter, Suharto yang baru dilantik menjadi presiden menaikkan tarif dasar listrik dan BBM. Sementara itu, untuk mengatasi krisis pangan, Suharto menganjurkan rakyat makan tiwul. Tingkat kemiskinan anjlok secara drastis, karena 180 juta rakyat sudah berada di bawah garis kemiskinan.
Gerakan Mahasiswa Mulai Sulit Dikendalikan
Sejak itu, Gerakan Mahasiswa yang mengangkat isu-isu sensitif mengarah kepada Suharto (perampasan tanah Tapos) sudah sulit dikendalikan oleh kekuatan militer dan polisi secara konvensional. Bulan Mei 1998 menjadi “the point of no return” bagi gerakan mahasiswa, menyusul dibentuknya Tim Mawar untuk melakukan penculikan terhadap para aktivis pada 7 Mei 1998.
Kalau melihat kuatnya kekuasaan Suharto yang sudah bertengger selama 35 tahun di pemerintahan, kenyataannya praktis hanya 20 hari antara tanggal 1 – 21 Mei 1998 ia ditumbangkan. Namun, pelemahan kekuatan Suharto sesungguhnya sudah terjadi sejak 1977/1978 atau selama 20 tahun lalu sejak ia melakukan pendudukan kampus. Dalam hal ini, adanya krisis ekonomi (Krisis Moneter) yang berdampak pada kehidupan kelas menengah ikut mempercepat kejatuhan rezim Suharto.
Yang juga mempercepat pematangan situasi adalah tuduhan kudeta pihak militer yang mengerahkan pasukan Kostrad (Saat itu Prabowo Subianto menjabat Pangkostrad) ke ibu kota tanpa sepengetahuan Panglima TNI. Oleh karena itu, saat Suharto ragu-ragu untuk mengundurkan diri sebagai presiden, tidak lama terjadi kerusuhan yang terstruktur dan sistemis antara tanggal 13 – 15 Mei 1998. Dramatisasi kedaruratan terus ditingkatkan dengan aksi melakukan pemerkosaan etnis Cina pada 16 Mei 1998 dan hengkangnya warga asing secara massal pada 17 Mei 1998 yang membuat Suharto benar-benar mengundurkan diri pada 21 Mei 1998.