Sampai saat ini, sudah hampir 100 Perguruan Tinggi yang para guru besarnya mengkritik Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang diduga melakukan pelanggaran etika dan moral terkait manipulasi konstitusi dan penyimpangan tugas presiden sebagai Kepala Negara. Namun, Jokowi memberi respons yang sumir atas apa yang disuarakan para guru besar, “Ya, itu hak demokrasi”. Ketidakpedulian Jokowi terhadap substansi yang disuarakan para guru besar itu bisa menimbulkan kesan penghinaan atas kedudukan perguruan tinggi yang selama ini menjadi garda terakhir dari nilai-nilai luhur bangsa.
Menyusul deklarasi para Guru Besar tersebut, mahasiswa sebagai bagian dari Civitas Academica melakukan berbagai aksi ikut memperjuangkan suara kampus mereka. Aksi-aksi mahasiswa tersebut dilakukan di Istana Kepresidenan, Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan di depan gerbang DPR/MPR RI. Kondisi ini sama seperti yang terjadi menjelang dan sesudah diumumkannya hasil Pemilu 1997.
Kerusuhan Masa Kampanye Pemilu 1997
Walaupun berbagai kerusuhan pada Pemilu 1997 hanya terjadi antara massa partai peserta pemilu (PDI dan PPP) dengan massa Golongan Karya (Golkar) atau pemerintah daerah, hal itu juga mencerminkan adanya krisis kepercayaan masyarakat terhadap Presiden Suharto. Praktik KKN, kebobrokan birokrasi, dan kendali pemerintah yang kuat atas panitia pemilihan umum menjadi pencetus terjadinya aksi di sejumlah daerah.
Kerusuhan pertama terjadi di Pekalongan tatkala pemerintah daerah, dengan dalih penertiban melakukan pencopotan atribut Partai Persatuan Pembangunan (PPP) saat ada kunjungan dewan pimpinan pusat Golkar ke daerah tersebut. Kerusuhan kedua terjadi di Jakarta akibat arogansi massa Golkar yang melakukan konvoi sambil mencabuti atribut PPP sepanjang jalur yang mereka lewati. Kejadian itu menyulut amarah masyarakat untuk menyerang massa Golkar dan melakukan pembakaran toko-toko di sepanjang jalan yang dilewati konvoi Golkar.
Pada tanggal 23 Mei 1997, terjadi kerusuhan besar di Banjarmasin yang berawal dari konvoi massa Golkar yang bising saat melewati Masjid Annur ketika sedang diselenggarakan salat Jumat. Usai salat Jumat, masyarakat menyerang konvoi tersebut dengan mengajak massa dari daerah lain sehingga kerusuhan makin parah dan meluas. Kerusuhan ini merupakan kerusuhan terbesar dalam pelaksanaan Pemilu 1997 yang melibatkan 40.000-50.000 warga sehingga 113 orang terluka dan 123 orang meninggal dunia.
Kerusuhan pada Perhitungan Suara
Kerusuhan juga terjadi saat penghitungan suara di Sampang, Madura yang meluas ke seluruh kota dan pelosok desa yang akhirnya harus dilakukan penghitungan suara ulang. Manipulasi suara terjadi pada wilayah Madura yang terkenal merupakan basis pendukung PPP. Namun, dalam penghitungan terakhir justru menempatkan Golkar sebagai peringkat pertama sedangkan suara PPP ditempatkan pada urutan kedua dengan selisih yang cukup jauh.
Kerusuhan Sampang ini bermula dari kecurangan pada TPS 09 yang diprotes warga untuk dilakukan penghitungan ulang. Akan tetapi, hasilnya malah mengecewakan karena PPP yang mendapat terbanyak 286 suara ditempatkan pada urutan kedua dengan perolehan 172 suara. Kecurangan yang berlangsung di Sampang antara lain panitia pemilu tidak memberikan formulir C-1 kepada saksi PPP, tidak semua santri diberi hak suara, petugas mencoblos formulir suara untuk Golkar guna menutup selisih suara.
Akibat dari berbagai kecurangan yang dilakukan Panitia Pemilu, para pendukung PPP melakukan pembakaran kotak suara dan menuntut pemungutan suara ulang. Selain itu, mereka menuntut pemungutan suara ulang di 1.200 TPS di seluruh Pulau Madura karena masifnya kecurangan panitia pemilu yang berpihak ke Golkar. Protes ini berujung aksi massa yang melakukan perusakan sarana umum seperti kantor Bank, pos Polisi, toko-toko milik keturunan Cina, dan berakhir pada penghancuran Kantor Cabang Golkar di Sampang.
Kecurangan Pemilu dan Pilpres 2024