Bencana asap yang terjadi berlarut-larut saat ini, pasti bukan sekedar permasalahan teknis atau teknologi. Mustahil mereka tidak tahu seluk-beluk dan dampak negatif serta kerugian material dan imaterialnya dari metode pembajaran hutan yang menjadi sumber bencana asap tersebut. Apalagi kalau selama 15 tahun terakhir secara intensif metode tersebut digunakan. Dari hirarki ruang lingkup tugas dan fungsi birokrasi, karena sudah kewalahan, urusan asap kini bukan lagi menjadi urusan direktur jenderal dan menteri. Presiden terpaksa turun langsung dan menjadikan asap sebagai tugas dan fungsi serta urusannya.
MANDULNYA PENEGAKAN HUKUM
Kalau urusan asap direduksi menjadi urusan penegakan hukum atau kejahatan korporasi, itupun rasa-rasanya tidak relevan lagi. Bukan hanya polisi yang sudah turun untuk mengatasi, tetapi TNI juga sudah memobilisasi pasukan untuk coba-coba menangani. Bahkan kini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan berkoordinasi dengan Badan Intelijen Negara (BIN) untuk memburu para pelaku pembakaran hutan. Anehnya dalam UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pembakaran hutan masih diperbolehkan.
Apalagi tingkat sangsi terhadap pelaku pembakaran terus diperberat dari denda, hukuman kurungan, sampai sangsi administratif pencabutan ijin penguasaan lahan. Namun makin diperberat sangsi, bukannya mendatangkan efek jera yang efektif, tetapi justru terjadi demoralisasi dan pembusukan lembaga penegak hukum. Makin banyak pelaku pembakaran hutan dijadikan tersangka, makin membengkak pula “bisnis” para penegak hukum yang menggelar praktek-praktek KUHP (Kasih Uang Habis Perkara).
PERSEPSI KELIRU TENTANG KEBAKARAN HUTAN
Beratus-ratus tesis di IPB dan fakultas kehutanan perguruan tinggi yang lain sudah mengambil pokok bahasan tentang kebakaran dan pembakaran hutan. Judul skripsinya aneh-aneh dan absurd. Ada yang berjudul pembakaran hutan terkendali atau cara efektif mengatasi kebakaran hutan. Tetapi berbagai tesis itu sama sekali tidak menyentuh atau menyinggung asap yang ditimbulkannya. Selain itu ada pula skripsi yang membahas tentang manfaat dan kerugian dari pembakaran hutan sebagai metode pengolahan lahan.
Selama ini paradigma penyebab kebakaran hutan masih didasarkan pada aspek ketidak-sengajaan atau kekhilafan. Karena itu istilah yang sering digunakan adalah “kebakaran hutan” bukan “pembakaran hutan”. Hutan terbakar seolah-olah timbul oleh sebab-sebab impersonal dan bukan sebab-sebab personal atau human error. Dari tinjauan aspek manajemen, kebakaran hutan masih diposisikan sebagai force majeur tetapi bukan malpraktek.
Paradigma inilah yang terus berusaha dipertahankan oleh para pihak, khususnya pemerintah dan pemerintah daerah. Karena itu ada petugas Dinas Kehutanan yang berkolaborasi dengan pelaku pembakaran hutan untuk menghapuskan barang bukti di lapangan. Petugas dinas ini selalu melaporkan dalam laporan SPJ monitoring dan evaluasi lapangannya bahwa tidak ditemukan bukti-bukti di lapangan.
KERUGIAN DI BALIK EFISIENSI EKONOMI
Pandangan para analis ekonomi menyatakan bahwa metode pembakaran hutan adalah metode yang super-efisien dalam pengolahan lahan hutan untuk perkebunan. Dibandingkan metode pengolahan lahan melalui penebangan tegakan, perancahan, penyingkiran material tegakan, pembongkaran bonggol akar, dan pembusukan material tegakan; pembakaran hutan per hektar hanya membutuhkan biaya maksimal 1% saja. Karena itu para pengusaha perkebunan yang memilih metode pembakaran hutan ini, mengatakan telah “ikut mensejahterakan petani sekitar hutan” melalui proyek membakar hutan.
Analisis ekonomi seperti di atas adalah bentuk dari kejahatan akademis. Mengapa demikian? Karena sebenarnya pembakaran hutan lebih jahat daripada penggunaan insektisida dan herbisida yang membunuh spesies tertentu. Melalui pembakaran hutan yang terjadi adalah genocide dan hollocaust terhadap seluruh jenis plasma nutfah dalam rangkaian ekosistem. Kerugian ekologis yang ditimbulkan dari pembakaran hutan jelas tidak terhingga, kalau dikaitkan dengan plasma nutfah yang berpotensi dalam mendukung sustainable of live (keberlanjutan kehidupan).