Pernahkah anda berpikir mengapa kebanyakan anak perempuan sejak kecil selalu diberi pakaian dan barang-barang berwarna merah muda oleh orang tuanya, sedangkan anak laki-laki diberi pakaian dan barang-barang berwarna biru. Apakah itu semua melambangkan identitas gender mereka? Mengapa anak laki-laki yang memakai pakaian berwarna merah muda berkemungkinan besar akan diolok-olok oleh lingkungannya?
Ternyata hal tersebut terjadi karena ada anggapan bahwa warna merah muda identik dengan perempuan, sedangkan biru identik dengan laki-laki. Menurut doktergenz.hipwee.com (2018), sejak era 1980-an ada streotip bahwa warna merah muda adalah ciri dari feminisme, sedangkan biru adalah ciri maskulin. Streotip inilah yang mengubah dan menciptakan norma-norma sosial yang ada di lingkungan kita sehingga seorang laki-laki yang memakai warna merah muda atau perempuan yang memakai warna biru akan terlihat sangat aneh. Tentu saja, hal ini akan menciptakan batasan untuk bisa sesuai dengan norma yang ditetapkan dan menyebabkan tidak bebas dalam mengekspresikan diri agar tidak dipandang aneh oleh masyarakat.
Selain itu, streotip ini akan tetap diwariskan karena terus dikembangkan melalui berbagai media dan juga pengalaman yang ditanamkan oleh orang tua sejak masih kecil. Pemikiran-pemikiran tersebut mempengaruhi persepsi bagaimana warna sangat berpengaruh terhadap perbedaan jenis kelamin. Padahal, setiap orang harusnya bebas untuk memilih warna terlepas dari apa jenis kelaminnya.
Menurut penelitian, pemasar seringkali menggunakan warna untuk menarik perhatian target gender tertentu. Bahkan beberapa perusahaan mulai menghadirkan berbagai produk dengan menggunakan warna sebagai identitas gender dan melakukan pendekatan yang lebih inklusif. Hal ini akan membuat orang-orang membedakan aktivitas ataupun minat sesuai dengan jenis kelamin.
Beberapa orang berpikir warna sebagai bahasa identitas gender berasal dari tradisi dan adat sejarah budayanya sehingga menjadi identitas suatu masyarakat. Selain itu, juga akan menimbulkan keteraturan dalam tatanan sosial. Pada kenyataannya, pada awal abad ke-20, tidak ada warna yang menghubungkan secara khusus antara warna dengan jenis kelamin. Bahkan, pada saat itu warna merah muda malah direkomendasikan untuk laki-laki sedangkan biru untuk perempuan. Lalu, mengalami perubahan sekitaran tahun 1940-an dan 1950-an, tren tersebut semakin berkembang bahkan hingga sekarang. Pada era kontemporer abad ke-21 inilah tumbuh kesadaran untuk mengatasi streotip itu dan menyadari pentingnya kebebasan berekspresi tanpa dibatasi warna sebagai identitas gender.
Untuk mengatasi dan menumbuhkan kesadaran kebebasan berekspresi tanpa memandang warna sebagai identitas gender  ini dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan baik dari sekolah maupun dengan peran orang tua. Sebagai pengajar pertama yang mengenalkan anak-anak terhadap berbagai hal di dunia, orang tua dapat mengenalkan warna tanpa memasukkan unsur gender di dalamnya dan memberikan kebebasan anak untuk memilih warna apapun. Di samping itu, inisiatif dari industri terutama pakaian untuk merancang produk dengan warna netral untuk semua orang tanpa membedakan jenis kelamin juga akan sangat berpengaruh.
Streotip tentang warna gender mempersempit pandangan terhadap identitas gender dan membatasi ruang gerak. Dengan menghilangkan pandangan pilihan warna sebagai ukuran normalnya seseorang sebagai jenis kelamin tertentu akan memberdayakan untuk tidak takut mengekspresikan diri tanpa adanya streotip yang membatasi. Untuk mengubah suatu hal yang telah lama hidup sebagai norma sosial pasti memiliki banyak penolakan tapi hal tersebut bisa diatasi dengan memunculkan kesadaran dan melakukan pendekatan yang lebih inklusif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H