Pelecehan seksual sudah tak asing lagi di berbagai kalangan masyarakat. Pasalnya, pelecehan seksual merupakan suatu tindakan kejahatan yang bersifat universal. Kejadian ini dapat terjadi di waktu, tempat, dan situasi yang tak terduga. Lingkungan yang kita anggap aman pun tidak menjamin akan terjaganya kita dari kasus pelecehan seksual. Ada kalanya lingkungan pendidikan, bahkan lingkungan keluarga yang seharusnya menjadi tempat kita berlindung, menjadi sebuat tempat yang membahayakan bagi kita. Â
Pelecehan seksual terjadi pada semua ranah, yaitu: personal, publik, dan negara. Ranah personal merupakan suatu tindak pelecehan seksual yang pelakunya memiliki hubungan darah terhadap korban dan juga memiliki relasi intim (pacar). Dalam ranah ini, tingkat pelecehan seksualnya merupakan yang paling tinggi dari ranah lainnya. Hal ini disebabkan karena banyaknya interaksi yang terjadi di ranah ini.
CATAHU 2023 mencatat jumlah kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2023 sebanyak 289.111 kasus. Faktor yang menyebabkan tingginya pelecehan seksual ini diantaranya: tingkat pendidikan yang rendah, masih adanya pemahaman patriaki, kebiasaan tidak baik minum minuman keras, mengkonsumsi narkotika, bertengkar tidak bisa mengontrol emosi, terjadinya perselingkuhan, pasangan menganggur, dan lain-lainnya.
Pada dasarnya siapa saja dapat menjadi korban pelecehan seksual, yang dampaknya dapat buruk bagi fisik dan mental dalam kurun waktu yang lama. Karenanya penting sebuah keluarga untuk memberi wawasan tentang bahaya pelecehan seksual yang selalu mengintai, kemudian tentang adab-adab bergaul antara lawan jenis. Sebuah keluarga haruslah memiliki komunikasi terbuka, sehingga dapat membicarakan topik apapun secara tenang.
Penanganan korban kekerasan seksual
Apabila pelecehan seksual tak dapat dihindari, peranan keluarga sangatlah diperlukan bagi korban. Sangat disayangkan anggapan masyarakat kita yang merasa malu saat anggota keluarganya menjadi korban pelecehan seksual pun masih menjadi sebuah tradisi yang salah. Ada juga yang bahkan beranggapan korban pelecehan seksual sebagai aib keluarga. Korban pelecehan seksual kerap dianggap salah karena tidak bisa menjada dirinya.
Maka dari itu banyak sekali korban pelecehan seksual yang hanya berdiam diri dan tidak berani melaporkan kasus yang menimpanya. Hal seperti itu harusnya segera dihilangkan, mengingat pentingnya peranan keluarga dalam kasus pelecehan seksual. Korban yang mengalami luka fisik maupun mental tidak mungkin mampu menyelesaikan masalahnya sendiri. Ia memerlukan tempat yang aman dan seorang pendengar yang baik untuk bercerita.
Korban pelecehan seksual membutuhkan dukungan agar akses layanan untuk mendapatkan keadilan atas kasus yang dialami lebih mudah. Dalam proses rujukan tersebut terdapat layanan medis dan psikologis dimana layanan ini diberikan kepada korban dalam rangka fisik dan psikis.
Setelah adanya komunikasi yang jelas, diadakannya layanan bantuan hukum yang mencakup penyediaan informasi menyangkut proses hukum, konsultasi hukum dan pendampingan hukum termasuk pendampingan saat proses peradilan. Pentingnya proses peradilan guna memberikan efek jera kepada pelaku serta dapat menyelamatkan calon-calon korban berikutnya yang bisa menjadi target pelaku apabila tidak mendapatkan hukuman setimpal.
Reintregasi sosial juga diperlukan agar korban diterima kembali oleh lingkungan sosial, baik dari lingkungan keluarga maupun lingkungan kemasyarakatan. Hal ini mencegah terjadinya stigma pada korban, sehingga korban dapat berpikir positif dan percaya diri. Layanan reintregasi sosial biasanya juga membantu mengembalikan nama baik korban, sehingga korban dapat berkecimpung di masyarakat secara nyaman.
Yang terakhir layanan tempat aman, diberikan terhadap korban supaya pelaku tidak dapat menjangkau atau mengetahui keberadaan korban. Layanan ini mensyaratkan lokasinya tidak diketahui oleh pihak-pihak yang tidak memiliki kepentingan untuk mendukung proses pemulihan korban.