Mohon tunggu...
Si Murai
Si Murai Mohon Tunggu... Editor - Itu, burung kecil berekor panjang yang senang berkicau!

“Do not ask who I am and do not ask me to remain the same. More than one person, doubtless like me, writes in order to have no face.” ― Michel Foucault

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Dahsyatnya Skizofrenia (Seputar Nash dan Sedikit Cerita)

8 Oktober 2019   12:24 Diperbarui: 8 Oktober 2019   13:09 521
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berkaitan dengan topik pilihan Kompasiana, saya ingin membicarakan sebuah buku biografi berjudul A Beautiful Mind : Kisah Hidup Seorang Genius Penderita Sakit Jiwa yang Meraih Hadiah Nobel  (2005) yang ditulis oleh Sylvia Nasar untuk John Nash, seorang matematikawan genius yang menemukan Teori Permainan yang penerapannya terdapat dalam bidang ekonomi. Berkat penemuannya di tahun 1950-an ini, ia meraih hadiah Nobel Ekonomi pada tahun 1994 bersama dua orang cendekiawan lainnya. 

A Beautiful Mind of Nash 
Membaca buku setebal 625 halaman ini seperti bukan membaca kata-kata atau cerita, melainkan membaca jiwa seorang anak manusia pengidap skizofrenia yang sangat genius bernama Nash. Tidak hanya menarik, kisah hidup Nash sangat memukau. Barangkali juga bisa menjadi bahan refleksi bagi kita, orang awam, dalam melihat jiwa sebagai sebuah entitas yang mungkin dapat memiliki jalan hidupnya sendiri yang bisa terlepas dari diri sebagai hunian jiwa tersebut.     

Biografi yang ditulis tahun 1998 ini konon mendasari dibuatnya film "A Beautiful Mind" pada tahun 2001 dengan aktor Russel Crowe  sebagai pemeran Nash. Saya sendiri lebih dahulu menonton filmnya sebelum kemudian menemukan buku yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia pada tahun 2005 ini di Gramedia pada saat cuci gudang pada 2012 silam.

Baik buku maupun filmnya sama-sama meraih penghargaan. Pada tahun 1998, buku A Beautiful Mind meraih National Book Critics Circle Award untuk biografi. Filmnya pada tahun  2001 memenangkan 4 Academy Awards, salah satunya Sutradara Terbaik. 

Kekuatan ceritanya terlebih karena ia berdasarkan kisah nyata seorang genius yang terkena skizofrenia, membuat kisah Nash dengan sendirinya menarik, memukau, dan membuat karya-karya tentang matematikawan ini layak untuk mendapatkan penghargaan. Tidak sekadar untuk menghargai, tapi kisah hidup Nash memang indah sekali, ajaib, menakjubkan, sekaligus tragis. Saat membacanya, saya seperti ingin cepat-cepat menuntaskannya. Ingin tahu sekali nasib Nash.

Jauh dari kontak dengan beberapa orang yang sangat khusus membuat aku seperti tersesat, tak tahu arah... maka, dalam banyak hal hidup ini terasa berat sekali. --John Forbes Nash, Jr., 1965 (Nasar, 2005: hlm. 236)

Nash mengalami delusi di tahun-tahun keemasannya, di usia yang sangat muda, yaitu sekitar 30 tahun. Ia telah menikah dengan Alicia Nash dan pernah punya perempuan simpanan (Eleanor namanya) yang melahirkan anak laki-laki untuknya. Alicia sendiri ketika itu sedang hamil. Konon, delusi Nash dipicu oleh kehamilan istrinya, juga ambisinya dalam memecahkan Hipotesis Riemann yang menjadi momok bagi para matematikawan. 

Selain itu, pengalaman hidup lainnya juga membuat ia tampaknya penuh tekanan. Beberapa di antaranya, ketakutan mengikuti wajib militer, suasana politik dan perang, pola asuh keluarga, faktor genetis, dll. Ketika delusinya semakin parah, Alicia "menjebloskannya" ke rumah sakit jiwa. Nash mengidap paranoid skizofrenia.

Perjalanan skizofrenia Nash begitu memilukan, bukan hanya bagi Nash, Alicia, keluarga Nash, atau orang-orang di sekitar mereka, melainkan pula bagi pembaca buku biografi tentangnya, seperti saya. Nasar menceritakan segala sesuatunya secara detail. 

Dibuka dengan cerita tentang keluarga Nash, awal kuliahnya di Princeton, karakter Nash yang nyentrik, genius, ambisinya untuk selalu unggul, perkenalannya dengan Eleanor, masa-masa keemasannya, teori yang dia buat, pernikahannya, penyakitnya, terapi insulin, terapi kejut, kesembuhannya, hingga keberhasilannya meraih hadiah Nobel--semua dituliskan secara detail, sangat detail dan akurat. 

Biografi ini penuh kutipan-kutipan hasil wawancara dengan orang-orang di masa hidup Nash, seperti adiknya, pengajar di Princeton, MIT, istri temannya, teman Alicia, para psikiater, dan mahasiswa yang pernah mengenal Nash. Tulisan ini penuh dengan kesan orang-orang itu terhadap Nash. 

Buku ini dilengkapi pula dengan foto-foto Nash bersama orang-orang dalam kehidupannya. Biografi ini lengkap dan akurat. Jelas sekali menggambarkan Nash dan bagaimana dia berpikir saat itu, bagaimana Nash melihat penyakitnya saat itu.

Saya terpukau sebab kisah Nash--dengan skizofrenianya yang hampir sembuh total setelah selama 30 tahun menggerogoti jiwanya--merupakan kasus langka. 

Dia matematikawan yang genius, bahkan di rentang masa sakitnya, Nash masih mampu membuat makalah-makalah dari penelitian (salah satunya ditulis dalam bahasa Perancis yang dipelajarinya semasa sakit!), berceramah, dan menghadiri seminar matematika. 

Dia seperti hidup di alam bawah sadarnya selama ini, tanpa ruang dan waktu. Dia tidak benar-benar menapak, tapi jiwanya telah "diisi" oleh kekuatan lain yang membuatnya bertahan. Dia menjadi tampak "normal" atau bahkan aneh sekali. Tapi, jelas, dia karya-Nya yang mengagumkan. Paling tidak, saya menilainya demikian.

Mengikuti kisah Nash, seperti menyelami kerja alam terhadap seorang anak manusia. 

Sedikit Cerita tentang Skizofrenia

Sebuah lomba, dan sebuah kemenangan lagi.
Syukur atas hati nurani yang kita miliki,
Syukur atas kelembutan, keriangan, dan ketakutan yang ditimbulkannya,
Apalah kejahatan sekuntum bunga
Selain diam menunggu mati tanpa ada yang menangisi

        --William Wordsworth,
        "Intimations of Immortality"

Itu adalah semacam sajak yang tertulis di halaman depan buku biografi Nash, teruntuk Alicia. Kesembuhan Nash, banyak yang mengkaji, adalah akibat kebesaran hati Alicia untuk menerima Nash kembali (mereka sempat bercerai). 

Dia kemudian merawat Nash, memenuhi kebutuhannya, mengasihi, menemani, bahkan mungkin hingga kematiannya pada 2015 silam (usia 86 tahun). Alicia sangat mencintainya. Dia sanggup menderita untuk mencintai Nash. Sekadar informasi, anak laki-laki mereka, mengidap skizofrenia juga.

brightside.me
brightside.me
Kesembuhan (baca: kenormalan) seorang skizofren banyak dipengaruhi oleh dukungan dan kasih sayang orang-orang di sekitar. Konon, penderita penyakit ini ada sebanyak 1% dari jumlah penduduk dunia (baca tentang skizofrenia). 

Saya hampir selalu tertarik dengan keadaan-keadaan semacam ini. Entah kenapa, mungkin karena melihat kenyataan, betapa kompleksnya jiwa manusia itu dan delusi atau halusinasi bisa menghinggapi siapa pun. Siapa saja, bisa saja, berpotensi menderita skizofrenia. Secara alami, ketika stresor sedang tinggi, kita juga bisa merasa cemas atau sedikit menjadi paranoid. Tapi, mungkin itu masih wajar.

Skizofrenia itu dahsyat. Film "Black Swan" (2010) yang berhasil mendapatkan Academy Award untuk Aktris Terbaik, yaitu Natalie Portman sebagai pemeran utamanya, juga setidaknya bercerita tentang seorang pengidap delusi. Film yang sangat menarik sekaligus mencekam. Cerita yang lebih segar dan bernuansa fiksi-komedi, "Midnight in Paris" (2011), saya pikir juga mengusung tema yang setidaknya hampir sedikit sama, yaitu tentang orang-orang yang mengalami delusi. Owen Wilson (seolah) bertemu dengan tokoh-tokoh legendaris pada tiap tengah malam di Kota Paris. 

Dia punya kehidupan yang jauh lebih hidup bersama mereka, bahkan dia jatuh cinta. Cerita yang manis dan "aneh". Academy Award juga menganugrahkan Skenario Terbaik untuk film tersebut. Tema-tema semacam ini, kenyataannya, sangat menarik, bisa menjadi indah, misterius, sekaligus mencekam. Masih banyak yang belum mengeskplorasi, dan tentu masih mendalam hal-hal menarik yang bisa diangkat dari sana, sedalam jiwa manusia itu sendiri. 

Saya masih cukup tertarik dengan semua itu, ide tentang skizofrenia, gagasan seputar alam bawah sadar manusia. Hal ini selalu menarik. Banyak yang bisa dipelajari dari sana. Film-film, bacaan, sekadar fiksi atau berdasarkan kisah nyata, bahkan, tentu menambah pengetahuan saya sendiri tentang manusia meskipun saya bukan ahlinya. 

Pada akhirnya, ilmu yang didapat dari pengalaman membaca atau menyimak kisah-kisah semacam itu kelak diaplikasikan pula untuk kehidupan sendiri ketika menjalani hari-hari, saat menghadapi stres, atau ketika bertemu orang-orang yang mengalami masalah dalam hidupnya. Paling tidak, semua itu memberikan pengalaman buat saya yang dari situlah saya hidup dan belajar, berjalan dan bertahan, saling berbagi dan berbahagia, di semesta raya bernama kehidupan.

I simply believe that some part of the human Self or Soul is not subject to the laws of space and time. --Carl Jung

*Tulisan ini telah diperbaharui dari tulisan aslinya yang ditulis oleh penulis pada 2012 silam di blog pribadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun