Kalau menurut saya, sih, tontonan asyik pas musim valentine begini, khususnya bersama pasangan yang apalagi sudah ada planning mau menikah di depan, ya drama keluarga. Bukan apa, drama keluarga versi film-film Barat itu punya kandungan makna yang cukup dalam juga, loh! Banyak pelajaran hidup yang bisa dipetik dari situ. Ini bisa jadi bekal buat kalian yang akan mengarungi biduk rumah tangga. Salah satu film keluarga yang saya rekomendasikan untuk ditonton adalah kisah keluarga Bloom dalam film Wish I was Here (2014). Buat saya, mereka adalah keluarga terkeren abad ini!
Keluarga Bloom terdiri dari seorang ayah (Aidan Bloom), ibu (Sarah), si sulung perempuan (Grace), dan si bungsu laki-laki (Tucker). Aidan (Zach Braff) adalah seorang pemain peran, sebut saja aktor--tapi bukan selebriti--yang beristrikan Sarah (Kate Hudson) seorang pekerja kantoran.
Mereka mempunyai dua orang anak: Grace (Joey King) si kakak dan Tucker (Pierce Gagnon) sang adik. Keluarga mereka keturunan Yahudi. Sang kakek (Mandy Patinkin), ayah Aidan, menyekolahkan sekaligus membiayai sekolah kedua cucunya tersebut di sekolah swasta berbasis agama Yahudi karena ingin mereka memiliki bekal iman yang baik.
Uang sekolahnya tentu mahal dan itu di luar kemampuan ekonomi keluarga Aidan. Pagi itu cerita dibuka dengan pertanyaan Sarah kepada Aidan tentang kapan ayahnya akan membayar uang semester sebab mereka telah menunggak bayaran sekolah selama satu bulan.
Di sinilah kemudian masalahnya, kanker ayah Aidan kambuh. Ia memutuskan untuk tak lagi membiayai sekolah anak-anak Aidan karena uang simpanannya akan digunakan untuk biaya pengobatan.
Sebagai kepala keluarga, tentu ini menjadi tanggung jawab Aidan untuk membuat anak-anaknya tetap bersekolah. Dengan kondisi tak punya pekerjaan tetap, baginya ini adalah masalah yang cukup pelik. Ditambah pula, sebagai anak sulung di keluarga, ia harus turut merawat ayahnya yang sakit dan tinggal seorang diri (ibunya telah meninggal), sementara adik Aidan, Noah (Josh Gad), sudah tak mau peduli pada keluarga, terutama sang ayah. Beban Aidan menjadi semakin berat. Mampukah ia menghadapinya?
Ini adalah cerita keluarga dengan segala problematikanya. Klise, sangat biasa, tapi karena itu justru jadi terasa dekat, sangat realistis, tidak dibuat-buat.
Menariknya, kepelikan ini dibungkus oleh nuansa komedi satir yang tidak ada adegan dramatis yang cengeng dan mendayu-dayu ditemukan di dalamnya. Sebaliknya, kita malah mendapati sebuah kedewasaan dalam berpikir dan bertindak dari para tokoh di sana yang pada akhirnya mampu membuat penonton belajar lewat film ini.
Pelajaran Pertama: Pernikahan, Awal Sebuah Tugas
Siapa bilang pernikahan itu bentuk ikatan cinta antara dua anak manusia? Zaman sekarang, masyarakat telah melepas stigma pernikahan dari konteks romantisme semacam itu. Tak percaya? Buktinya lihat saja ke sekitar kita. Banyak orang yang belum menikah karena terlalu pilih-pilih pasangan: cantik, tampan, pendidikan tinggi, pekerjaan mapan. Saling cinta urusan ke sekian.
Mereka yang lebih tahu diri dengan tidak banyak memilih, malah memutuskan untuk tidak menikah saja. Benar, kan? Tapi, ya, begitulah keadaannya. Wajar. Sebabnya, adalah sebuah fakta, bahwa pernikahan merupakan gerbang menuju kehidupan yang sesungguhnya. Dan, kehidupan yang sesungguhnya itu hutan belantara, kita tidak pernah tahu. Karena itu, headline untuk setiap pernikahan adalah ucapan: Selamat Menempuh Hidup Baru. *Jeng jeng jeng jeng. Masuk hutan.
Meskipun begitu, tidak selamanya benar juga bahwa manusia tidak butuh cinta dalam pernikahan mereka. Terdengar naif memang bicara cinta hari gini, tapi, percayalah, ia akan menjadi penolong terakhir ketika kehidupan rumah tanggamu tengah berada pada titik nadir.