Mohon tunggu...
arisatya yogaswara
arisatya yogaswara Mohon Tunggu... -

Just me. Simply me.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

JokoWibisana: Antara Khianat Nurani atau Negeri

19 Februari 2015   13:59 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:54 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

ALENGKA GEGER! Negeri raksasa pongah yang jumlah penduduknya seabreg itu menjadi goyah.Pasalnya, anak emas kesayangan rakyat Alengka, Gunawan Wibisana angkat kaki dari roda pemerintahan kerajaan.

Para raksasa, yang menjadi penduduk negeri menggeleng-gelengkan kepala seolah tak percaya. Sementara para raksesi tak malu-malu menumpahkan airmata. Suara raungan tangis menghadirkan kepiluan sekaligus kengerian bagi yang mendengar. Bunyinya serupa keputusasaan. Betapa tidak, Gunawan Wibisana selama ini sudah dianggap sebagai symbol harapan bagi negeri Alengka. Harapan untuk membawa perubahan juga kejayaan bagi Alengka. Perginya Gunawan Wibisana seolah membuat segala harapan tercerabut. Pergi sudah semua impian.

Kini, rakyat Alengka seperti dapat melihat akhir pahit dari perjalanan negerinya sendiri.

Mereka pun mengibarkan bendera kerajaan berwarna merah, setengah tiang… tanda berduka. Bencana apa yang akan menimpa Alengka?

***

Melepas lencana kerajaan Alengka, tak lantas membuat Wibisana menjadi kecewa. Ia teringat ketika bersama ketiga kakaknya, Rahwana, Kumbakarna, dan Sarpakenaka bertapa memuja Dewa Brahma. Kekuatan doa mereka telah mengguncang mayapada. Memaksa Bathara Brahma mengirim Narada untuk bertanya, hal apa yang menjadi permohonan putra-putri Begawan Wisrawa itu sehingga demikian dahsyat dalam beribadat.

Rahwana yang tertua sekaligus yang paling bertekad kuat di antara saudara-saudaranya, meminta kesaktian yang luar biasa. Ia ingin selamanya berkuasa. Dan dipuja oleh rakyat Alengka.

Sarkapenaka, kakak perempuannya, meminta senjata ampuh yang bisa menaklukkan semua satria yang gagah. Ia juga ingin menjadi wanita paling berpengaruh di seantero negeri.

Kumbakarna adalah satria yang sederhana. Badannya kuat tetapi tak memiliki ambisi apa-apa. Maka tak ada yang dimintanya kepada dewa.

“Lalu apa yang menjadi kehendakmu, Nak Wibisana?” tanya Narada dengan mimik menyelidik.

“Ampun, Sinuwun. Saya hanya meminta agar saya selalu berada di jalan kebenaran dan dharma,” ujar Wibisana waktu itu. Ia teringat melihat raut kelegaan di wajah tua nan bijak milik Narada.

Dengan ambisi-ambisi Rahwana, kekuatan Kumbakarna, sentuhan ego wanita Sarkapenaka, dan juga kebijaksanaan Gunawan Wibisana, Alengka tumbuh menjadi kerajaan yang besar. Satu persatu kerajaan ditaklukkan. Hampir semua raja menyatakan takluk, bersimpuh di kaki Prabu Dasamuka Rahwana. Banyak tokoh sakti dari kerajaan lain merapat ke Alengka. Puja dan puji demi kursi kekuasaan menjadi lagu merdu di telinga sang Prabu.

Naluri raksasa telah menghilangkan sisi kemanusiaan Rahwana. Ia semakin congkak. Dan kini, ambisinyalah yang mengendalikan tindak tanduknya. Ia jadi bersikap tak adil dan mau menang sendiri. Apapun di dunia, selalu ingin dimiliki. Termasuk juga Dewi Shinta, istri dari Rama. Shinta adalah titisan Dewi Widawati yang telah membuat sang Prabu mabuk kepayang. Tak peduli bahwa sang dewi adalah istri dari titisan Bethara Wisnu, sang Prabu Rahwana nekad menculik dan memaksa Shinta untuk menjadi istrinya. Vulgar dan tak peduli hukum, cara yang ditempuh.

Banyak rakyat negeri tetangga memprotes tingkah laku rajanya itu. Mereka berbisik riuh. Mencoba menyampaikan pesan bahwa sang Raja telah mengambil langkah yang salah. Gunawan Wibisana dan Kumbakarna telah berulang kali menasihati sang kakak. Namun tak ada yang bisa menyentuh hati yang sudah keblinger. Dasamuka malah semakin beringas. Diasingkannya Wibisana dari pemerintahan Alengka. Orang-orang dekat Prabu Alengka, mencibirnya sebagai pengkhianat.

***

Wibisana tahu cepat atau lambat perbuatan sang kakak akan berakhir dengan peperangan. Bila terjadi perang, rakyatlah yang akan menderita. Perang hanya menghasilkan kesusahan, duka nestapa, kelaparan, dan menciptakan anak-anak yatim. Bila tetap berada dalam lingkaran kekuasaan Alengka, maka tak banyak yang bisa dilakukan olehnya.

Batin Wibisana bergolak. Keadaan memaksanya berdiri di atas garis antara. Pilihannya Cuma dua: khianat nurani atau negeri…

***

Melangkah mantap menuju istana Rama, Wibisana bertekad akan melawan setiap keangkaramurkaan. Ditanggalkannya nama Gunawan sebagai simbol lepasnya atribut kerajaan Alengka yang telah membesarkan namanya. Kini, ia hanyalah Wibisana pembela kebenaran. Diikrarkannya kesetiaan. Bukan pada Rama. Tetapi pada kebenaran. Bagi Wibisana, kebenaran itu menembus batas-batas nasionalisme, bahkan juga batas persaudaraan.

Maka berkecamuklah perang besar. Antara kebenaran dengan kebatilan. Para raksasa nasionalis Alengka menghujat Wibisana sebagai pengkhianat. Mereka berteriak dan mengumpat, mengungkit-ungkit jasa Alengka bagi Wibisana. Tetapi ada sebagian di antara mereka yang diam saja. Memang tak semua satria Alengka bersifat jahat. Kumbakarna, misalnya. Ia berperang bukan karena membela Rahwana. Seperti halnya Bhisma Dewabrata di perang Bharatayudha, Kumbakarna angkat senjata karena kewajibannya terhadap negara. Right or Wrong is my country.

***

Akhir cerita sudah dapat ditebak. Sang Prabu Rahwana beserta balatentaranya dapat dimusnahkan. Kekuatan Alengka tanpa kebijaksanaan Wibisana, tak berarti apa-apa. Kebaikan selalu menjadi pemenang bagi mereka yang dapat melihat dengan jernih setiap persoalan.

Wibisana kemudian dipilih oleh Sri Rama mewakili rakyat menjadi raja baru di Alengka. Tak lupa diberi wejangan Hasta Brata (Delapan Sifat Alam yang Agung). Bahwa seorang pemimpin hendaknya memiliki sifat:

1.Bumi, yaitu memberi tempat hidup bagi yang lemah dan membutuhkan.

2.Matahari, yaitu menjadi sumber energi yang menginspirasi kehidupan rakyatnya.

3.Bulan, yaitu senantiasa menjadi penerang dalam kegelapan.

4.Samudra, yaitu berlapang dada, tidak anti-kritik. Melihat apa yang dibicarakan, bukan siapa yang bicara.

5.Bintang, yaitu tetap menjaga kemuliaannya, sehingga dicintai rakyat dan disegani musuh.

6.Angin, yaitu masuk (menyusup) ke segala arah. Blusukan untuk mencari akar masalah, bukan pencitraan.

7.Api, yaitu membakar apa saja tanpa pandang bulu. Bersikap tegas bagi para pelanggar hukum.

8.Air, yaitu selalu mengalir ke tempat yang rendah. Rendah hati dan tidak sombong.

Kesetiaan Wibisana terhadap dharmma terbayar sudah. Nurani adalah tempat bersemayam Tuhan dalam diri manusia. Sejelek-jeleknya pengkhianat adalah mereka yang mengkhianati Tuhannya. Sebuah pelajaran berharga bagi setiap diri kita. Karena setiap kita adalah pemimpin. Minimal pemimpin bagi diri kita sendiri…

A. Yogaswara

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun