[caption id="attachment_332267" align="aligncenter" width="305" caption="Gambar: sexualityandculture.blogspot.com"][/caption]
Guru nyambi jadi petani, itu umum di desa saya. Guru nyambi jadi tukang ojek, itu sah-sah saja kalau di kota. Tapi kalau guru nyambi jadi petugas forensik, itu tak diterima bahkan bisa berakhir di meja hukum. Itulah yang terjadi baru baru ini hingga menggemparkan Flores, Nusa Tenggara Timur. Gara-gara memeriksa keperawanan murid-muridnya, seorang kepala sekolah akhirnya dilaporkan ke meja hukum dengan tudingan melakukan pencabulan.
Memeriksa keperawanan, atau tepatnya memeriksa selaput dara memang bukan tindakan yang berpretensi melanggar hukum kalau dilakukan oleh pihak yang tepat, yakni petugas khusus dari kedokteran forensik. Mereka diberikan kuasa oleh hukum dan dilindungi oleh negara untuk melakukannya.
Tetapi ketika seorang guru tanpa hak melakukan tes serupa, ia bisa dikenai tuduhanmelakukan pelecehan meski maksud tindakannya tidak mengarah ke sana.
Sebenarnya masih banyak celah hukum yang bisa diambil ketika beredar desas desus yang dikhawatirkan mencemarkan nama sekolah, seperti yang dikatakan si kepala sekolah sebagai alasan tindakannya. Itu kalau ia mau berkonsultasi dengan petugas hukum. Celahnya adalahpasal penghinaan, atau bisa pula pasal fitnah, dan kalau terbukti kebenarannya, bisa berujung pasal zinah. Tiga-tiganya mampu menyeret pelaku ke proses hukum.
Tetapi barangkali mahalnya proses hukum, dari ongkos waktu, ongkos mental hingga ongkos materiil, atau mungkin juga kurangnya pekerja hukum membuat si kepala sekolah mengambil jalan pintas dengan bertindak sendiri. Akhirnya, hukum berbalik menjeratnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H