Lebak Gede
Di lembah bukit Totombok yang dikenal dengan sebutan Lebak Gede dan sekarang menjadi tempat ziarah rohani, di sanalah tanah bapakku dulunya berada. Sepetak tanah bapak bersisian dengan tanah Wa Hamirja, kakak ibuku. Mengapa dikatakan Lebak Gede? Karena bentuknya yang mirip lebak (sungai) gede (besar). Lembah ini diapit tebing di satu sisi dan bukit Totombok di sisi yang lain. Sebutan Totombok disematkan didasarkan atas kenyataan bahwa petani yang mengolah tanah di tempat ini harus siap-siap nombok. Bagaimana tidak nombok kalau tanah di sekitarnya bercampur batu. Setali tiga uang dengan tanah di Lebak Gede. Berkali-kali aku mengikut bapak ke bubulak (ladang) ini, yang kutemukan ya... tanah berbatu. Namun bapak tetap makaya (bekerja). Dengan cangkulnya ia mengusahakan menanam apa yang mungkin bisa tumbuh dan menghasilkan.Â
Di tempat ini bapak menanam pohon alpukat dan nangka. Sampai tanah ini berpindah tangan, aku tidak pernah menikmati buah nangka dari tempat ini. Pohon alpukat masih lumayan menghasilkan. Beberapa kali panen, bapak bisa menjual alpukat dalam jumlah banyak, menambah penghasilan yang didapat dari menjual alpukat di lahan lain, sawah di Pangbataan. Alpukat dari Lebak Gede bentuknya lebih kecil dan kulitnya lebih halus mengkilap dan tipis. Sementara alpukat dari pohon di Pangbataan ukurannya lebih besar, dengan kulit yang kasar dan tebal.Â
Pohon lainnya yang bapak tanam adalah pohon pepaya. Pepaya dari tempat ini berbuah merah dan manis. Kelak aku mendapat informasi bahwa pepaya akan tumbuh dengan optimal dan menghasilkan ketika ditanam di tanah berpasir. Jadi, cocok memang kalau Lebak Gede ditanami pepaya. Selain buah-buahan tentu saja beragam tanaman lain ditanam di tempat ini. Salah satunya adalah singkong. Sehubungan kualitas tanah kurang mendukung, maka hasilnya juga tidak bisa terlalu diharapkan. Dari cerita bapak, bukan sekali dua kali bapak mendapati tanaman singkong dirusak dan dinikmati binatang pengganggu bernama landak. Ternyata Kalau di dekat rumah ada pemandian Liang Landak dimana binatang sebenarnya tidak pernah ditemukan, di Lebak gede ini Landak mendapatkan habitatnya.
Lebak Gede saat itu dikenal lebih karena batu sirap. Mereka yang membutuhkan batu sirap untuk ornamen di dinding atau di lantai halaman rumah akan menuju tempat ini dan membongkar lapisan-lapisan batu pipih ini. Sekalipun ladang bapak bersisian dengan tempat penggalian batu sirap, sepertinya bapak tidak punya ketertarikan untuk memanfaatkannya. Kupikir salah satu alasannya tentu saja pengangkutannya yang ridu (repot). Jalan setapak yang hanya bisa dilalui satu orang dan persis berada di pinggir tebing menyulitkan orang berlalu lalang. Apalagi jalan setapak ini tidak umum dilewati. Hanya satu dua pemilik ladang di tempat ini yang biasa melewatinya. Di tebing ini pula tanaman perdu dan lumut tumbuh subuh. Di beberapa tempat cai nyusu (air rembesan) ngeclak (menetes) menandakan tempat lembab ini tidak kekurangan air. Mungkin karena alasan ini pula kami yang ke ladang Lebak Gede tidak jarang menemukan tanaman anggrek liar di antara perdu yang tumbuh di tebing. Anggrek liar inilah yang kami bawa pulang dan kami pelihara.
Lahan Lebak Gede tinggal menjadi kenangan. Karena berbagai alasan ladang ini berpindah tangan. Tempat yang semasa aku kecil pernah mendorong imajinasiku bahwa ada peninggalan purbakala di antara hamparan batu-batu dan tebing batu itu, masih kusambangi ketika aku pulang kampung. Tentu bukan untuk bercocok tanam atau memanen hasilnya tetapi untuk berziarah ke bukit golgota dan gua Maria Fatima Sawer Rahmat.***(Bandung, 11 September 2022)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H