Mohon tunggu...
Simon Sutono
Simon Sutono Mohon Tunggu... Guru - Impian bekaskan jejak untuk sua Sang Pemberi Asa

Nada impian Rajut kata bermakna Mengasah rasa

Selanjutnya

Tutup

Diary

Makam Leutik

2 Agustus 2022   23:55 Diperbarui: 3 Agustus 2022   00:01 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari jalan utama desa di seberang belokan menuju ke arah gereja, terdapat jalan kecil menanjak. Jalan ini digunakan oleh warga setempat untuk ke bubulak (ladang) yang ada di Curug Goong, Oro-Oro, Lebak Gede dan tempat lainnya. Jalannya terus menanjak sampai di tempat yang mendatar menjelang gua maria. Di awal-awal gua Maria Fatima Sawer Rahmat dibuka sebagai tempat ziarah rohani jalan ini menjadi rute utama yang dilalui para peziarah. Mereka yang berasal dari luar kota akan memarkirkan kendaraan di sekitar gereja dan melakukan perjalanan sekitar setengah jam. Mereka yang tidak terbiasa berjalan jauh dengan kondisi menanjak, pastinya akan hah heh hoh. Hah heh hoh ini baru sebagai pemanasan sebelum pendakian sebenar-benarnya dilakukan: mendaki bukit Golgota ataupun langsung menuju ke Gua maria di tempat yang disebut warga sekitar sebagai Totombok.

Melakukan perjalanan dari jalan utama desa, kita akan melewati  rumah penduduk, ladang, kandang sapi, makam di lahan pribadi dan pemakaman umum desa yang dikenal sebagai Makam Leutik. Karena keberadaan pemakaman inilah maka daerah tersebut dikenal sebagai daerah Makam Leutik. Keunikan pemakaman ini adalah bahwa terdapatnya nisan-nisan berbahasa Arab dan juga makam-makam dengan salib di atasnya. Dengan kata lain, pemakaman ini terbuka untuk pemeluk agama yang beragam. Aku yang dibesarkan di tempat ini merasa kondisi ini adalah sesuatu hal yang biasa. Dua makam anggota keluargapun ada di sana, makam kakakku yang paling sulung dan adikku yang keduanya meninggal saat masih bayi. Namun, hal yang biasa ini  menjadi tidak biasa ketika aku meninggalkan desa. Baru kutahu bahwa pemakaman di tempat lain dibagi berdasarkan agamanya. Dalam suatu berita bahkan dikabarkan suatu wilayah tidak menerima jenasah dimakamkan di wilayah tersebut dikarenakan kepercayaannya yang berbeda. Membaca berita tersebut, ingatanku langsung melayang pada Makam Leutik. Perasaan mengharu biru meluap atas suasana desaku setidaknya sampai tahun 80-an saat aku masih di bangku SD. Identitas keyakinan di desaku tidak mengkotak-kotakkan warganya. Desa kami terasa guyub, terbuka dan toleran. Meski jauh dari pusat kota dan status pendidikan mayoritas warganya tidak sampai pendidikan menengah, kehidupan sehari-hari warga masyarakat diwarnai dengan keadaban.

Keguyuban dan keterbukaan ini tercermin juga dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan. Di keluargaku saja misalkan. Nganteuran merupakan tradisi yang dilakukan menjelang hari raya. Aku masih ingat bahwa menjelang hari raya keagamaan, natal taruhlah, ibuku akan sibuk menyiapkan beragam jenis kue seperti cuhcur, papais pupuntir, papais enten, kuping, rangginang untuk dikirimkan kepada tetangga-tetangga muslim. Aku dan kakakku yang biasanya bertugas untuk mengantarkannya ke rumah mereka. Sebaliknya ketika menjelang Idul Fitri, tetangga-tetangga yang muslim akan melakukan hal sama kepada keluargaku. Maka, sekalipun kami tidak merayakan idul fitri, di rumah cukup tersedia makanan dikarenakan anteuran dari tetangga-tetanggaku. Di hari raya itu sendiri, kebiasaan yang dulu keluargaku alami adalah bahwa kami yang merayakan hari raya  akan mengunjungi tetangga yang tidak merayakan untuk meminta maaf. Jadi, berbeda dengan keumumannya bukan mereka yang datang untuk mengucapkan selamat hari raya, tetapi kami keluarga yang datang. Hal yang sama terjadi ketika mereka merayakan, mereka akan datang ke rumah kami.

Dalam kegiatan Karang Taruna, semasa aku SD aku menyaksikan keguyuban kaum muda kampung dengan berbeda latar belakang kepercayaan untuk menjadi tim olah raga yang kompak. Ketika dilaksanakan lomba volley antar kampung yang diadakan oleh pemerintahan desa, tim volley kami yang dimotori sosok Arjo seorang katolik dan Udin seorang muslim mengalahkan tim-tim dari kampung tetangga. Kemenangan ini tentu saja pertama-tama karena keterampilan mereka berolahraga yang didukung kerja tim dengan melepaskan sekat-sekat perbedaan. Sebagai anak kecil yang menonton dan mendukung tim kampungku bertanding, apa yang ditunjukkan oleh orang-orang gagah dengan kemampuan olah raga prima ini terpatri dalam ingatanku. 

Dalam keguyuban hidup bermasyarakat, kegiatan membangun rumah, hajatan (pesta), kapapatenan (duka cita) dan kegiatan kemasyarakatan lainnya, anggota masyarakat berbaur ambil bagian bergotong royong. Kepala kampung kami yang terpilih melalui pemilihan langsung juga seorang katolik sekalipun mayoritas penduduk kampung kami adalah muslim. Di beberapa kegiatan desa, gereja meminjamkan alat musik degung sekaligus juga dengan para pemainnya. Keguyuban ini yang seiring perkembangan waktu sepertinya mengambil bentuk-bentuk yang sekarang ini berbeda. Aku yang semenjak SMA meninggalkan kampung halaman menemukan hal-hal yang dulu familiar tidak lagi dilakukan. Namun, Makam Leutik yang kulalui saat aku berziarah ke gua maria menjadi jejak sejarah yang menjadi pengingat dan memantik harapan bahwa desaku tidak pernah tersekat, hanya karena perbedaan identitas.*** (Bandung, 28 Juli 2022)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun