Mohon tunggu...
Simon Sutono
Simon Sutono Mohon Tunggu... Guru - Impian bekaskan jejak untuk sua Sang Pemberi Asa

Nada impian Rajut kata bermakna Mengasah rasa

Selanjutnya

Tutup

Diary

Pengelana

25 Mei 2021   16:22 Diperbarui: 10 Juni 2021   22:49 459
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kembaranku menggeleng pelan. Ia tidak terlalu yakin. Sekalipun berjalan sudah menjadi kebiasaan kami, perjalanan malam ini terasa berbeda. Menyusuri jalanan di malam hari minus penerangan bukanlah kegiatan yang menyenangkan. Aku selalu curiga dengan keremangan dan kegelapan yang identik dengan misteri dan ketidakpastian. Maka aku selalu berkata pada kembaranku untuk selalu berjaga-jaga dan bersiap, mengerahkan kemampuan kami untuk bergerak lebih cepat. Berlari sebutan lebih tepatnya, untuk menghindarkan Tuanku dari misteri yang muncul dari kegelapan.

Berjalan dalam kegelapan dengan jarak yang cukup jauh bukan sekali ini saja terjadi. Saat di bangku SMA dan pulang kampung untuk merayakan natal, keputusan mengambil bis malam berakibat Tuanku tiba dini hari di terminal Kuningan dan tidak tersedianya angkutan menuju ke desa. Alhasil keputusan nekat diambil: berjalan kaki dari Cirendang - subterminal di Kuningan sampai ke desa Tuanku, Cisantana. Orang mungkin tidak akan habis pikir mengapa Tuanku tidak menunggu hari terang dan angkutan pertama melintas dan lebih memilih dua setengah jam berjalan kaki.

Jalanan mendaki dan menurun yang gelap, sepi, melewati kebun bambu, tebu, pesawahan dan pekuburan tidak menyurutkan Tuanku untuk memaksa kami bergerak dengan gerak cepat. Desau dedaunan, bayangan gelap pohon-pohon besar dan kelebat kelelawar tidak menjadi penghalang. Meskipun, aku dan kembaranku masih bisa menangkap samar nyali Tuanku yang ciut. 

Pikiran untuk berbalik arah tidak sekali muncul namun acapkali Tuanku kembali meneguhkan niat. Jari-jari tangan yang tak lepas menggilir bulir rosario dan komat-kamit mulut berdoa Salam Maria memfokuskan pikiran Tuanku. Gerak cepat kami berbuah peluh dan nafas yang menderu. Kontras dengan udara pegunungan dini hari yang mengigil untuk mereka yang bergelung di peraduan. Dua jam setengah perjalanan berlalu. Ketika Tuanku bercerita tentang perjalanannya, kedua kakak perempuannya hanya bisa geleng-geleng kepala. Tidak habis pikir dengan keputusan adik bungsu mereka yang tidak biasa.

Dan ini kami, aku dan kembaranku dalam gerak berirama meniti tangga menaiki pesawat Merpati Airlines. Keputusan Tuanku untuk setia mengelana membawa tidak semata fisik kami yang semakin tangguh, tetapi juga kesempatan-kesempatan yang terbuka lebar seperti halnya berbagai jalan dan gang yang siap Tuanku lalui. Satu dari kesempatan itu adalah melanglang kota-kota besar, negara di benua Eropa, Amerika, Australia dan tentu saja Asia, selain Indonesia tentunya.** (Cimahi, 25 Mei 2021)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun