Mengantar rombongan tim angklung sekolah yang ambil bagian dalam Kompetisi Angklung Pak Daeng memberiku kesempatan untuk menjejakkan kaki di kampus almamater setelah sekian lama tak pernah kusinggahi.Â
Olohok! Begitulah kata urang Bandung. Terkesima dalam Bahasa Indonesia. Kampus IKIP Bandung yang berganti nama menjadi Universitas Pendidikan Indonesia bertransformasi menjadi kampus yang tidak lagi untuk kalangan proletar (julukanku untuk UPI) dan orang-orang daerah.
Di masaku kuliah, kampus Isola ini sebagian bangunannya berlantai 1 dengan atap sirap  dan koridor yang bagiku menjadi sangat khas. Di deretan kelas-kelas bangunan satu lantai itulah aku mengikuti perkuliahan.Â
Ketika aku memasuki gerbang mendampingi tim angklung, bangunan-bangunan tinggi menjulang membuatkan untuk sesaat tidak mengenali almamaterku. Bangunan satu lantai - lab bahasa, balairung, kantor jurusan FPBS, kelas-kelas FPIPS, kelas-kelas FPMIPA, asrama putra -- semuanya bersalin rupa menjadi bangunan tinggi berlantai-lantai. Aku menahan nafas sambil mencari-cari spot-spot kenangan saat aku kuliah dulu. Lab bahasa tempat aku dua semester berturut-turut mendapatkan nilai D, kantor Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris tempat aku ujian sidang skripsi dengan Ketua Jurusan, pojokan di FPIPS tempat aku selalu janjian dengan calon istriku, juga kelas-kelas  perkuliahan Bahasa Indonesia tempat aku sempat goyah ingin berganti jurusan ke Pendidikan Bahasa Indonesia dan mengikuti 1 kuliah minor Kajian Prosa Fiksi Indonesia tidak lagi menampakkan sosok yang pernah kukenali. Transformasi. Tentu saja ini jawabannya. UPI dengan tag line Leading and Outstanding Campus tentu saja harus menunjukkan kapasitas dan kelasnya.
Kembali ke ceritaku mendampingi tim angklung sekolah, saat berjalan menyusuri jalanan kampus yang dulu hampir setiap hari kulewati, mataku tak henti memperhatikan bangunan-bangunan yang kulewati sembari mencoba mengingat-ingat bangunan semula yang sekarang berubah menjadi bangunan tinggi menjulang. Mendekati Aula Barat tempat pelaksanaan lomba, mataku tertuju pada bangunan di sebelah kiri -- Sekolah Pascasarjana UPI.
     "Hmmm," pikirku, "Sekarang bangunannya di sini. Dulu kan ini FPMIPA," pikirku lagi.
     "Kereen, ya yang bisa kuliah di pasca." Aku membatin sekaligus membayangkan mereka yang studi lanjut S2. Beberapa teman seangkatanku sudah ada yang S3 dan menjadi dosen di almamater. Aku sendiri tidak terbetik sedikitpun untuk kuliah S2. Dalam perhitunganku, biaya S2 tidak sebanding dengan penghasilanku sebagai guru SMP. Pun aku tidak menjamin ijazah S2 akan otomatis mendongkrak penghasilanku.
     Pasca mendampingi tim angklung rutinitas pekerjaan menyerap energi dan perhatianku. Apalagi dengan tugas tambahan sebagai pimpinan sekolah, sebagian besar waktuku tersita untuk urusan sekolah. Hingga suatu hari ketua yayasan sekolahku, seorang biarawati katolik meminta bertemu. Apa yang beliau sampaikan seakan menarikku pada apa yang kubatinkan saat mendampingi siswa-siswa lomba angklung.
     "Bagaimana? Siap ya sekolah lagi?"
     "Mmm..." Aku tergagap. Aku tidak menyangka dengan tawaran yang disampaikan pimpinanku: studi lanjut S2. Kejadian aku melewati gedung SPs UPI sontak membayang di benakku dan apa yang kubatinkan saat itu masih terngiang. Entahlah, apakah yang kubatinkan itu adalah doa? Dan doa itu sekarang menampakkan jawabnnya?
     "Bapak tidak perlu memberikan jawaban sekarang. Hanya, yayasan sungguh mendukung pribadi-pribadi tertentu untuk meningkatkan kualifikasi, termasuk studi lanjut."