"Bapak dukung kamu. Semoga berhasil." Pak Yogi menyodorkan surat keterangan yang baru saja ia tandatangani.Â
     "Terima kasih Pak," jawab Niki. Pikirannya langsung berpikir apa yang perlu selanjutnya ia lakukan. Memindai dokumen dan mengemail file.    Â
     "Beres," pikirnya.
***
     "Lha, dari mana saja kau Nik?" Teriakan Ridwan terdengar sampai ke luar kelas. Niki berbalik bermaksud menghindari Ridwan.
     "Tidak segampang itu." Ridwan mengejar Niki. Tangannya menarik tas ransel Niki.Â
     "Sudah mau bel, Rid," sergah Niki. Dia tidak berusaha mempertahankan tasmu.
     "Ya tidak apa-apa. Paling juga Pak Jemu telat datang. Seperti biasa." Ucapan Ridwan terhenti ketika melihat kepala yang melongok ke dalam kelas.
     "Ada yang panggil Bapak?" suara itu sontak membuat Ridwan berhenti menggeledah ransel Niki.
     "Kelakuanmu, Ridwan. Tidak berubah. Kamu cari buku ini kah?" ujarnya lagi seraya menunjukkan buku bersampul koran.
     "Emm..." Ridwan gelagapan. Tertangkap basah.
     "Niki, sana kamu sudah ditunggu yang lain. Sebentar lagi berangkat. Kalau telat bisa didiskualifikasi.. Ketua kelas siapakah? Tolong nanti ke kantor guru ambil tugas. Bapak harus dampingi lomba. Buku Niki Bapak bawa biar jawabannya tidak kamu salin ramai-ramai."
***
     Di kalangan teman-temannya Niki cukup populer. Tentu saja karena dia anak ter... terbaik dari sisi nilai akademis. Juga namanya yang akan mengecoh bagi yang pertama kami dengar. Termasuk Ridwan.
     "Lha, ta pikir orang Jepang. Hitaro Nikimoto. Ternyata jepun abal-abal," komentar Ridwan di hari pertama sekolah. Yang dikomentari bergeming. Komentar ini bukan pertama kalinya. Niki sudah cukup kebal. "Ditanggapi pun tidak akan mengubah namanya." pikirnya. Apa bedanya nama dia dengan nama Abdullah yang yang disandang temannya, Abdullah Ridwan. Jelas-jelas nama Arab, tapi penampakkan Ridwan tidak seperti orang Arab.Â
Demikian juga Andrew. Jelas-jelas nama barat, tapi temannya yang Tionghoa itu tidak memiliki darah caucasian. Prinsip inilah yang menguatkan Niki untuk tidak ambil pusing dengan komentar orang. Kalaupun ditanya dampak dari namanya, Niki bisa menunjukkan kefasihannya berbahasa Jepang, hasil dari kesukaannya dengan anime, manga, dan situs berbahasa Jepang yang dia browsing.Â
     "Ditanyain apa saja sama Pak Yogi?" Husen bertanya pada Niki yang baru keluar dari kantor kepala sekolah.
     "Ya begitulah," jawab Niki singkat.
     "Tapi kamu dapat tanda tangannya, kan?" kejar Husen. Niki mengangguk.
     "Artinya kamu tinggal kirim tuh semua dokumen. Mantap kalau begitu. Aku doakan kamu lolos seleksi," lanjut Husen. Matanya menatap Niki.
     "Aku sendiri tidak yakin," jawab Niki ragu.
     "Tidak yakin gimana?" sergah Husen, "Nilai raportmu bagus. Bahasa Inggrismu cukup lancar. Bahasa Jepang kamu juga  lumayan, sudah dapat sertifikat lagi dari kursus on line. Kesenian tradisi kamu beruntung ikut ekstra pencak silat. Dokumen sudah beres. Apa lagi yang dirisaukan?"Â
     "Kita nggak tahu yang lain. Peserta yang lain mungkin lebih siap dan lebih baik dibanding aku," ucap Niki.
     "Ya, tapi kan bisa jadi mereka pun lebih tidak siap. Dan kamu lebih siap. Sudahlah. Sekarang yakin saja dulu. Kesempatan hebat lho ini. Biaya full ditanggung untuk student exchange ini. Coba kalau aku juga gelutin bahasa asing seperti kamu dari dulu, aku punya kesempatan yang sama. Penyesalan tidak pernah di awal."Â
     Niki menganggukkan kepala. Apa yang dikatakan Husen ada benarnya juga. Siapa tahu dia malah yang jauh lebih siap dibandingkan calon peserta yang lain. Kalau dari syarat-syarat dokumen untuk seleksi awal, lampiran yang sudah ia siapkan sudah lebih dari cukup.
     "Orang tuamu pasti bangga kalau kamu bisa ke Jepang. Bapakmu terutama," kata Husen seraya menatap Niki. Raut muka temannya berubah. Sendu. Husen melihat matanya berkaca-kaca sebelum Niki mengerjap. Ia tidak bersuara, hanya mengangguk pelan
***
     "Bu...Bu...Ibu!" Panggilan Niki terdengar cukup keras di gang depan rumahnya. Anak muda itu bergegas keluar rumah mencari-cari Ibunya. Wajahnya tampak girang dengan tangan gemetar memegang telepon genggam.
     "Kamu ini kayak ada apa saja," komentar ibunya yang keluar dari rumah tetangga, "Memangnya ada apa sampai heboh begini. Ganggu tetangga!" lanjutnya.
     "Ini Bu. Ada kabar," jawab Niki tergagap.
     "Kabar apa? Kok kamu jadi gemetar begitu. Sana masuk rumah dulu. Kita bicara di dalam."
     "Ini Bu. Kabar dari Kedubes Jepang!" Niki tidak menghiraukan permintaan ibunya untuk masuk rumah.
     "Jepang?" tanya ibu Niki
     "Iya... kedubes Jepang. Tentang pertukaran pelajar!" jawab Niki.
***
     "Apakah Ibu bisa menjamin esok-esok kita masih hidup?" Pertanyaan tajam Niki menyentak perasaan Bu Mara. Ia tergagap tidak bisa langsung menjawab pertanyaan anaknya itu.
     "Bu, Niki hanya minta tanda tangan Ibu, restu Ibu agar Niki bisa ikut seleksi ini, Bu." Kembali Niki menyodorkan kertas persetujuan orang tua.
     "Apakah selama ini Niki kurang menyenangkan Ibu sehingga Ibu tidak mengijinkan Niki?"
     "Bukan begitu, Nak," potong Bu Mara
     "Hanya karena Ibu kuatir apa yang menimpa ayah terjadi pada Niki?" Niki menyahut perkataan ibunya, "Program ini hanya tiga bulan dan pasti Niki akan kembali, Bu."
     "Kamu tidak mengerti yang Ibu maksud."
     "Ibu juga tidak mengerti keinginan Niki," sergah Niki, "Niki rindu Bu, rindu bapak. Dan sekarang ada kesempatan untuk menginjakkan kaki di sana." Suara Niki bergetar. Namun Bu Mara bergeming. Matanya menyerupai telaga.  Tak diraihnya pulpen yang diletakkan Niki disamping kertas. Ia memilih beranjak dengan air mata meleleh di pipinya, pergi meninggalkan Niki
***
     "Bu... Bu.. Ibu..." Bu Mara mendengar panggilan anaknya. Bergegas ia keluar dari rumah tetangganya. Matanya menangkap sosok Niki yang sedang mencari-cari dia.
     "Ada apa, Niki. Gak usah teriak-teriak. Ibu di sini. Ganggu tetangga. Sana masuk rumah," jawabnya seraya mendekat.
     "Bu, ini, ada kabar gembira." Suara Niki bergetar tidak peduli suruhan ibunya. Tangannya menyorongkan telepon genggam yang dipegangnya.
     "Kabar apa?" tanya Bu Mara.
     "Kabar dari Kedutaan Jepang," jawab Niki
     "Jepang?" tanya ibu Niki
     "Iya... kedubes Jepang. Tentang pertukaran pelajar!" jawab Niki.
      Hati Bu Mara mencelot mendengar nama ini. Tubuhnya mendadak dingin. "Ayo, masuk dulu. Kita bicara di dalam," ujarnya seraya mendahului Niki masuk rumah.Â
     Perempuan separuh baya menghempaskan pantatnya ke sofa yang memudar warnanya. Tangan Bu Mara menjangkau telepon genggam yg disodorkan Niki. Matanya menyusuri kata demi kata surat elektronik "Perwakilan tim verifikasi akan berkunjung ke kota Anda dan melakukan wawancara..."
     Pandangan Bu Mara beralih pada Niki yang duduk disampingnya. Mata Bu Mara berkaca-kaca. Tangan kirinya merangkul Niki yang bersandar di bahunya. Dia tak besuara. Ditariknya kepala anaknya dan diciumnya ubun-ubun Niki. "Semoga impianmu menjadi kenyataan," katanya terbata.Â
     Nikipun mengerjap. Ia tidak berusaha menyeka air matanya. Matanya mengekor pandangan ibunya yang mengarah pada foto dalam bingkai di dinding. Foto Sukamto Pranoto, ayah Niki. Tiga belas tahun lalu hanya kabar yang tiba di telinga keluarga Niki. Kepala keluarga itu tersaput gelombang saat menjadi tenaga kerja Indonesia di Jepang. Kabar yang mendukakan, tak terbayarkan oleh uang duka sekalipun yang menjamin pendidikan Niki. Dan sekarang Niki berkesempatan untuk menjejakkan kaki di tanah ayahnya tiada.*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H