"Iya... kedubes Jepang. Tentang pertukaran pelajar!" jawab Niki.
      Hati Bu Mara mencelot mendengar nama ini. Tubuhnya mendadak dingin. "Ayo, masuk dulu. Kita bicara di dalam," ujarnya seraya mendahului Niki masuk rumah.Â
     Perempuan separuh baya menghempaskan pantatnya ke sofa yang memudar warnanya. Tangan Bu Mara menjangkau telepon genggam yg disodorkan Niki. Matanya menyusuri kata demi kata surat elektronik "Perwakilan tim verifikasi akan berkunjung ke kota Anda dan melakukan wawancara..."
     Pandangan Bu Mara beralih pada Niki yang duduk disampingnya. Mata Bu Mara berkaca-kaca. Tangan kirinya merangkul Niki yang bersandar di bahunya. Dia tak besuara. Ditariknya kepala anaknya dan diciumnya ubun-ubun Niki. "Semoga impianmu menjadi kenyataan," katanya terbata.Â
     Nikipun mengerjap. Ia tidak berusaha menyeka air matanya. Matanya mengekor pandangan ibunya yang mengarah pada foto dalam bingkai di dinding. Foto Sukamto Pranoto, ayah Niki. Tiga belas tahun lalu hanya kabar yang tiba di telinga keluarga Niki. Kepala keluarga itu tersaput gelombang saat menjadi tenaga kerja Indonesia di Jepang. Kabar yang mendukakan, tak terbayarkan oleh uang duka sekalipun yang menjamin pendidikan Niki. Dan sekarang Niki berkesempatan untuk menjejakkan kaki di tanah ayahnya tiada.*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H