Niki menganggukkan kepala. Apa yang dikatakan Husen ada benarnya juga. Siapa tahu dia malah yang jauh lebih siap dibandingkan calon peserta yang lain. Kalau dari syarat-syarat dokumen untuk seleksi awal, lampiran yang sudah ia siapkan sudah lebih dari cukup.
     "Orang tuamu pasti bangga kalau kamu bisa ke Jepang. Bapakmu terutama," kata Husen seraya menatap Niki. Raut muka temannya berubah. Sendu. Husen melihat matanya berkaca-kaca sebelum Niki mengerjap. Ia tidak bersuara, hanya mengangguk pelan
***
     "Bu...Bu...Ibu!" Panggilan Niki terdengar cukup keras di gang depan rumahnya. Anak muda itu bergegas keluar rumah mencari-cari Ibunya. Wajahnya tampak girang dengan tangan gemetar memegang telepon genggam.
     "Kamu ini kayak ada apa saja," komentar ibunya yang keluar dari rumah tetangga, "Memangnya ada apa sampai heboh begini. Ganggu tetangga!" lanjutnya.
     "Ini Bu. Ada kabar," jawab Niki tergagap.
     "Kabar apa? Kok kamu jadi gemetar begitu. Sana masuk rumah dulu. Kita bicara di dalam."
     "Ini Bu. Kabar dari Kedubes Jepang!" Niki tidak menghiraukan permintaan ibunya untuk masuk rumah.
     "Jepang?" tanya ibu Niki
     "Iya... kedubes Jepang. Tentang pertukaran pelajar!" jawab Niki.
***
     "Apakah Ibu bisa menjamin esok-esok kita masih hidup?" Pertanyaan tajam Niki menyentak perasaan Bu Mara. Ia tergagap tidak bisa langsung menjawab pertanyaan anaknya itu.
     "Bu, Niki hanya minta tanda tangan Ibu, restu Ibu agar Niki bisa ikut seleksi ini, Bu." Kembali Niki menyodorkan kertas persetujuan orang tua.