Baru-baru ini jagat birokrasi Provinsi Sumatera Utara dihebohkan dengan adanya penonjoban ASN dari jabatan; dan ASN yang telah pensiun, dan ASN yang telah meninggal dunia malah dilantik oleh Gubernur Sumatera Utara untuk menggantikan jabatan dari ASN yang telah dinonjobkan. Akibatnya, ASN yang merasa diri mereka berprestasi merasa  penonjoban mereka merupakan sesuatu yang tidak adil adanya.
Banyak pihak juga turut angkat bicara mengenai hal ini. Akan tetapi perlu dipahami fenomena penonjoban ASN dari jabatan diberbagai daerah di Indonesia ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:
1. Kedekatan Oknum ASN dengan Pimpinan OPD bahkan Kepala Daerah
Nepotisme sering terjadi antara oknum ASN dengan pimpinan OPD bahkan Kepala Daerah. Nepotisme ini bisa karena faktor keluarga, dan persahabatan. Dikarenakan nepotisme ini, bisa saja menyebabkan ASN yang memiliki jabatan karena prestasi, kinerja yang baik, dan disiplin di nonjobkan dan digantikan oleh oknum ASN yang dekat dengan pimpinan OPD dan Kepala Daerah.
2. Jual Beli Jabatan yang Melibatkan Kepala Daerah dengan Oknum ASN Atau Jual Beli Jabatan Yang Melibatkan Oknum Partai Politik dengan Oknum ASN
Kasus jual beli jabatan di Indonesia bagaikan fenomena gunung es. Kasus seperti ini masih sedikit terungkap di Indonesia meski tidak menutup kemungkinan kasus jual beli jabatan yang belum terungkap juga masih banyak di Indonesia. Pada tahun 2019 lalu kita pernah dihebohkan dengan kasus jual beli jabatan di Kemenag yang melibatkan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan dengan beberapa Oknum ASN di Kemenag. Dan KPK pernah mengungkapkan bahwa 430 Kepala Daerah yang menjadi tersangka kasus korupsi, sepersepuluhnya terciduk lantaran terlibat kasus jual beli jabatan.
Dikarenakan maraknya kasus jual beli jabatan yang melibatkan Kepala Daerah dan oknum partai politik dengan oknum ASN di Indonesia maka bisa saja menyebabkan ASN yang memiliki prestasi, kinerja yang baik, dan disiplin dinonjobkan dan digantikan oleh oknum ASN yang melakukan aksi jual beli jabatan dengan Kepala Daerah dan Oknum Partai Politik.
3. Menjelang Pilkada dan Pasca Pilkada
ASN memang memiliki hak untuk memilih, dan menentukan pilihannya di Pemilu atau Pilkada. Tapi netralitas ASN perlu benar-benar ditingkatkan pada waktu menjelang pilkada dan hari H pilkada. Akan tetapi, banyak juga ASN yang secara diam-diam menjadi tim sukses calon kepala daerah menjelang pilkada hingga hari H pilkada hal ini diakui oleh Tjahjo Kumolo selaku Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi pada Juli 2020.Â
Menurut Tjahjo Kumolo, tujuan ASN menjadi tim sukses adalah demi jabatan dan ASN itu melakukan aksi gambling. Akan tetapi perlu diakui Kepala Daerah yang posisinya sebagai petahana, dalam pencalonan dirinya sebagai Kepala Daerah untuk periode kedua, turut mengerahkan ASN secara diam-diam sebagai tim sukses bayangannya. Akibat hal ini, bisa juga ASN yang pro dengan Kepala Daerah saat menjelang Pilkada tidak di nonjobkan, dan pasca Pilkada jika  si Kepala daerah itu terpilih kembali menjadi kepala daerah di periode kedua si ASN yang pro dengan Kepala Daerah di masa menjelang Pilkada dan hari H Pilkada dipromosikan untuk naik jabatan.Â
Tapi jika si Kepala Daerah yang petahana kalah di Pilkada maka ASN tersebut akan di nonjobkan. Disisi lain, jika ASN tidak pro dengan si Kepala Daerah yang merupakan petahana saat menjelang pilkada, maka ASN tersebut di nonjobkan sampai masa jabatan kepala daerah tersebut berakhir.