Kami merasa tertawa dan sedih saat membaca sebuah tajuk/editorial di sebuah media cetak yang menilai keberhasilan Dirut PT KAI Ignasius Jonan melakukan perubahan kultur dalam manajemen PT KAI. Pasalnya, dalam kenyataannya di lapangan, masih banyak yang perlu dibenahi khususnya terkait dengan pelayanan dan kenyamanan penumpang KRL Commuter Line.
Yang jelas, fakta dalam 5 tahun terakhir ini kami sebagai pengguna jasa KRL tidak merasakan perubahan dalam pelayanan maupun kenyamanan yang secara signifikan. Yang terjadi banyak keanehan dan selalu merasa benar dari sisi manajemen PT KAI. Namun dari sisi kepentingan publik, pelayanan dan kenyamanan jauh lebih menurun drastis.
Perubahan teknis penjualan tiket dengan E-Ticketing saja belum sepenuhnya berjalan sempurna. Terbukti masih banyak penumpang yang belum paham menggunakan kartu Tiket Harian Berjaminan (THB) karena minimya sosialisasi kepada masyarakat luas.
Kami sebagai penumpang lama, terus terang sudah mulai jarang menggunakan KRL Commuter Line, karena pelayanannya sekarang sama persis dengan KRL Ekonomi (dulu), dimana penumpang selalu berdesak-desakan, AC terkadang mati, pengap dan etika maupun sopan santun sudah tidak ada lagi. Yang merasa kuat dan berani, itulah penumpang yang sukses naik KRL Commuter Line. Apalagi ada pernyataan Dirut PT KAI yang berbunyi :
"Kalau jamnya tidak sesuai dengan jam harapan masyarakat, ini penumpang 600.000 sehari. Ya, kalau enggak sesuai naik kendaraan pribadi saja. Kita enggak bisa menyesuaikan harapan 600.000 kepala yang berbeda-beda pikirannya," kata Jonan, Rabu (Kompas.com 25/9).
Itu menunjukkan sikap arogan sebagai pemimpin BUMN yang sudah tidak memperhatikan konsumen (pelanggan) KRL Commuter Line. Padahal, pelayanan dan kenyamanan jauh merosot dibandingkan 5 tahun lalu. Hanya tertutup dengan kemasan model tarif progresif yang terkesan "murah" di mata publik, telah menimbulkan kesan PT KAI sukses meningkatkan kapasitas penumpang menjadi 600.000 per hari.
Jelas, Dirut PT KAI tidak mengerti makna perubahan kultur dalam manajemen seperti yang digagas Prof DR Rhenald Kasali, bahwa ada tahapan perubahan yang dilakukan setiap perusahaan. Namun yang dilakukan manajemen PT KAI hanya model perubahan asal jadi. Itupun hanya teknis yang berubah, sementara pola pikir dalam melayani kebutuhan konsumen sama sekali tidak diperhitungkan oleh sang Dirut PT KAI.
Dulu, PT KAI pernah sukses saat membuat segmentasi pelayanan menjadi 3 kategori bagi penumpang sesuai kemampuannya yaitu: KRL AC yang kini disebut KRL Commuter Line, KRL Ekonomi dan KRL AC Ekspres dengan harga tiket yang berbeda satu dan lainnya yang bertujuan mengundang konsumen dari berbagai segmen sesuai kemampuan ekonomisnya.
Namun setelah muncul "perubahan" dengan istilah THB, E-Ticketing, yang mengesankan harga tiket menjadi murah yang seharusnya secara perhitungan riil ekonomis, malah merugikan pendapatan manajemen PT KAI, dipandang sebagai keberhasilan Dirut PT KAI. Apakah logikanya benar, jika kapasitas penumpang semakin bertambah, namun jumlah pendapatan PT KAI malah menurun dalam pengelolaan KRL Commuter Line?
Dan anehnya, perubahan apa yang disebut keberhasilan Dirut PT KAI jika sistem intermoda yang berpusat di Stasiun Gambir, Jakarta Pusat, sekarang malah dibubarkan? Faktanya KRL tidak berhenti di Stasiun Gambir kenapa? Padahal di Gambir sudah tersedia Halte Bus DAMRI dan Halte Bus TransJakarta yang semula bertujuan memudahkan penumpang berganti moda, sekarang malah penumpang merasa sangat kesulitan baik penumpang KRL maupun KA luar kota.
Kami jadi bertanya, apakah semua itu bukti keberhasilan Dirut PT KAI membangun sarana transportasi umum khususnya KRL Commuter Line yang mampu terkoneksi dengan jaringan moda transportasi lainnya?