Ketika musim hujan tiba, para petani mulai turun ke ladang untuk menanam tanaman seperti jagung, kacang dan lainnya. Tanaman-tanaman ini menjadi kebutuhan hidup sehari-hari untuk dikonsumsi, dan secara finansial merupakan komoditas utama sebagian masyarakat di Kabupaten Flores Timur untuk menunjang ekonomi keluarga. Setelah menanam dan melewati beberapa tahap, para petani kemudian menunggu dalam beberapa waktu sampai pada proses memanen.
Namun, dalam periode menunggu hasil panen para petani mendapat serangan hama tikus maka warga kampung perlu melakukan ritual yang mana sebagai bentuk pemberantasan hama tikus dan meminta kepada leluhur agar menjaga tanaman terhindar dari serangan hewan pengerat ini.
Hal yang demikian bisa kita temukan di kampung Lamalaka di kecamatan Ile Boleng, di mana warga setempat melakukan sebuah ritual yang dalam bahasa setempat disebut DOPO NAO (memberantas hama tikus).
Menurut pemahaman warga Lamalaka, Ritual DOPO NAO merupakan acara pengantaran tikus ke kampung halamannya agar tidak menggangu tanaman para petani di kebun.
Melalui wawancara singkat kepada pemangku adat yang mengatur ritual ini, berikut cerita tentang tikus yang diyakini oleh para petani di kampung Lamalaka sebagai hewan penggangu tanaman seperti kacang dan jagung, sampai pada terjadinya ritual DOPO NAO yang dilakukan setiap tahun pada bulan pebruari atau maret - tergantung pada curah hujan dan kematangan tanaman untuk siap dipanen.
Menurut penuturan sejarah, para leluhur di kampung meminta tikus yang berasal dari kampung Mako Lamaole, sebuah kampung yang berada di wilayah Solor Barat, dengan tujuan untuk memberantas tumbuhan penggangu tanaman (tumbuhan ilalang) sehingga dikemudian hari tidak ada lagi ilalang yang tumbuh disekitar tanaman kacang maupun jagung di area perkebunan.
Pada waktu itu, masyarakat di kampung Mako Lamaole sangat mengalami krisis air sehingga setiap musim kemarau mereka datang meminta air di kampung Lamalaka.
Seorang petuah adat di kampung Lamalaka, kemudian memberikan air yang disimpan pada bambu beruas tujuh. Bambu tersebut dibawa pulang oleh orang Mako Lamaole dan dengan upacara tarian Hamang Jaga, bambu beruas tujuh tersebut dijaga oleh warga di kampung selama tujuh hari.
Menurut cerita, pada akhirnya bambu tersebut menghasilkan wai matan pito (tujuh titik mata air) dan mata air ini masih ada sampai sekarang.
Sebagai imbalannya, warga kampung Lamalaka meminta tikus yang berada di Mako Lamaole untuk membantu para petani di Lamalaka dalam memberantas tumbuhan pengganggu tanaman.