Mohon tunggu...
Simon Peter
Simon Peter Mohon Tunggu... Ilmuwan - Let's do something different

I am highly interested in environmental issues and I wanna be a part of people who're taking action to cope the problems which we face these days. I am a concerned citizen.

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Masyarakat di Desa Nelelamawangi II Menjual Sekitar 4.4 Ton Rumput Laut dari Hasil Panen Perdana

23 Januari 2020   22:41 Diperbarui: 24 Januari 2020   12:46 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rabu 22 januari 2020, pada pagi hari yang berawan masyarakat tani rumput laut di desa Nelelamawangi II melakukan penjualan hasil panen rumput laut dalam jumlah besar di pasar Keliha, yang lokasinya berada di pesisir pantai dengan keindahan rumput laut terbentang di sepanjang perairan.

Berdasarkan perhitungan matematika sekitar 4.4 ton atau setara dengan 4.362 kg rumput laut terjual dengan harga per kilogram adalah Rp.17.000, sehingga harga jual seluruhnya kira-kira Rp.74.154.000. Ini merupakan penjualan perdana secara besar-besaran setelah kurang lebih 10 tahun rumput laut punah akibat air laut yang tercemar dan juga penyakit ice-ce yang melanda waktu itu, jelas seorang petani rumput laut di desa ini yang bernama Ola.

Berdasarkan cerita, keberadaan rumput laut di desa ini sudah punah sekitar puluhan tahun yang lalu, namun pada tahun 2019 di pertengahan bulan Mei,  seorang pemuda bernama Kirfan, ketika hendak mencari ikan di laut, tiba-tiba menemukan sebongkah rumput laut yang sangat subur, hanyut terbawa oleh arus air laut.

Kata Kirfan, Waktu itu air surut, dan saya hendak mencari ikan di sekitar hamparan tali-tali kosong yang dulunya digunakan untuk budidaya rumput laut, saya menemukan sebongkah rumput laut yang sangat subur. Lalu di potong rumput laut tersebut menjadi 12 bagian dan saya ikat pada tali. Setelah satu bulan di lepas diperairan, ternyata rumput laut tersebut kembali tumbuh subur dengan baik dan saya terus menambah ikatan pada tali yang lainnya sampai menuju pada skala yang besar.

Kemudian masyarakat di desa datang membeli bibit ke saya, dan budidaya secara massive dimulai  lagi sejak saat itu sampai sekarang. Kita berharap semoga ini bisa menambah perekonomian masyarakat di desa ini kedepannya, tambah Kirfan yang merupakan penemu rumput laut yang dahulunya sudah punah tersebut.

Gambar 1.2 Kapal Kayu Penuh Dengan Muatan Rumput Laut--dokpri
Gambar 1.2 Kapal Kayu Penuh Dengan Muatan Rumput Laut--dokpri
Jenis rumput laut yang dibudidaya di desa ini adalah Eucheuma cottoni, tanaman tingkat rendah yang tidak memiliki perbedaan susunan kerangka seperti akar, batang, dan daun. dengan menggunakan teknik long line, dimana tali sepanjang 50-100 m dibentangkan pada permukaan air. Jangkar diletakkan diantara kedua sisi pada tali dan juga pelampung dengan jarak 1 m antara satu pelampung dengan pelampung lainnya sepanjang tali. Sekitar 25 -- 30 hari, rumpur laut sudah bisa di panen dan dikeringkan untuk kemudian di jual.

Gambar 1.3 Rumput Laut Eucheuma Cottoni--dokpri
Gambar 1.3 Rumput Laut Eucheuma Cottoni--dokpri
Penelitian membuktikan bahwa rumput laut ini memiliki kandungan gizi yang luar biasa, yaitu mengandung serat makanan yang sangat tinggi. Jadi, jika kamu ingin diet berkunjunglah ke pantai lamalaka untuk mendapatkan makanan ini karena sangat cocok di buat salad dan kamu bisa menikmatinya dengan ubi atau pisang rebus.

Selain sebagai bahan pangan, jenis rumput laut Eucheuma juga digunakan dalam industri farmasi. Bahkan kandungan bioetanol (C2H50H) yang terdapat di dalam rumput laut ini bisa digunakan sebagai energi alternatif bahan bakar yang terbarukan dan ramah lingkungan, Kompasiana (Rara Khenti:2013)

Masyarakat Nelelamawangi II berharap semoga pemerintah bisa memberikan dukungan terhadap budidaya rumput laut Eucheuma kedepannya, agar harga dari komoditas ini bisa selalu menjangkau perekonomian masyarakat di desa. Sejauh ini belum ada patokan harga yang pasti, sehingga banyak pedagang yang datang membeli dengan harga yang masih bervariasi.

Lamalaka, 23 Januari 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun