Kesadaran diri dan kejujuran untuk bertanya sebagai hasil refleksi akan sangat membantu kita menjatuhkan pilihan, "Ini pilihan saya dan saya bertanggung jawab atas pilihan saya dengan alasan-alasan yang tidak semata katanya, tapi diolah dan dikonfirmasi."
Bagaimana halnya dengan judul tulisan ini, Bangku Kosong: Silent Majority? Tulisan ini merupakan tanggapan atas tulisan yang berfokus pada fenomena yang mempersandingkan bangku kosong dan hasil survey.
Penulis memiliki sudut pandang yang berbeda bahwa bangku kosong tidak serta merta menyimbolkan minimnya dukungan terhadap paslon tertentu. Demikian halnya dengan merunyaknya massa yang mendatangi pertemuan paslon tidak lantas menyimbolkan dukungan yang tinggi atas paslon tersebut. Ketidaktahuan kita atas latar belakang motivasi peserta pendukung tersebut menjadi celah kemungkinan bahwa yang terjadi tidaklah sebagaimana yang kita lihat.
Demikian halnya dengan konteks silent majority yang menjadi judul tulisan ini. Bahwa dialektika, strategi, dan pendekatan oleh masing-masing paslon dalam mengkampanyekan dirinya sudah dimulai dari jauh sebelum gelaran jadwal pemilu resmi diberlakukan.
Ketika salah satu paslon gemar mengumpulkan massa dan mengklaim dukungan dari mayoritas bertolak belakang dengan konsepsi silent majority yang memang memilih diam, tidak hura-hura dan berbaur dalam massa yang tumpah ruah, Â namun justru sudah menjatuhkan pilihan dan ditangkap oleh Lembaga survey. Lantas, seandainya sudut pandang ini memiliki potensi kebenaran, untuk apa lagi menghimpun massa yang lantas direpresentasikan sebagai tanda-tanda kemenangan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H